PENDEKATAN KONTEKSTUAL


PENTINGNYA KETERAMPILAN MENYIMAK SEBUAH TINJAUAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
A. Pendahuluan
Walaupun setiap manusia normal dilengkapi dengan potensi menyimak, belum tentu setiap orang menjadi penyimak yang baik. Pembelajar bahasa dituntut menjadi penyimak yang baik karena dapat berpengaruh terhadap keberhasilan belajaranya. Lestening may be golden yang berarti dari menyimak itu kita akan memperoleh hal-hal yang bernilai tinggi, berharga, dan berguna.
Pengalaman penulis diketahui bahwa kegiatan menyimak yang terencana dalam proses pembelajaran masih jarang penulis lakukan. Kegiatan yang dilakukan adalah pembahasan materi yang berhubungan dengan Menyimak lebih dominan daripada praktiknya. Kalaupun ada praktiknya mahasiswa hanya mendengarkan tentang lagu atau dibacakan wacana, mahasiswa diminta untuk menyimak dengan saksama. Setelah dosen selesai memperdengarkan bahan simakan, mahasiswa diminta untuk mengutarakan kembali secara lisan bahan yang disimaknya. Karena alasan waktu yang terbatas, tuntutan materi Menyimak, dan media simakan baik langsung atau tidak yang kurang memadai, mahasiswa yang mendapat kesempatan mengutarakan isi simakan hanya dua atau tiga orang. Kegiatan tersebut tidak dilanjutkan dengan kegiatan lebih jauh seperti mendiskusikan materi simakan dan mengecek pemahaman mahasiswa. Dengan demikian, tidak ada proses “meyiapkan” mahasiswa dalam kegiatan pramenyimak serta tidak dilakukan kegiatan analisis dan koreksi. Itu berarti secara teoretis menyimak mahasiswa dapat diandalkan, tetapi secara praktiknya masih jauh dari harapan sebagai calon guru 108 dalam penerapan keterampilan menyimak bagi diri dan siswa nantinya.
Dalam kegiatan sehari-hari baik di dalam kegitan pembelajaran maupun di luar, mahasiswa lebih banyak berurusan dengan kegiatan menyimak dibandingkan dengan kegiatan berbahasa lainnya terutama dalam menyimak aktif reseptif. Dapat dikatakan mulai bangun tidur sampai menjelang tidur, manusia termasuk mahasiswa itu berhubungan dengan menyimak. Segala informasi baik berupa ilmu maupun ide yang diterima mahasiswa pada umumnya melalui proses menyimak ini. Seperti yang dikatakan Wilt (dalam Tarigan, 1990:11) 42% waktu penggunaan bahasa tertuju pada menyimak.
Kemampuan menyimak manusia sangat terbatas. Manusia yang sudah terlatih baik dan sering melaksanakan tugas-tugas menyimak, disertai kondisi fisik dan mental yang prima, hanya dapat menangkap isi simakan maksimal 50% (Tarigan, 1990:26) Padahal diharapkan mahasiswa sebagai calon guru memiliki bekal dalam meyerap ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, di samping kemampuan berbicara, membaca, dan menulis, kemampuan menyimak pun sangat penting dimiliki dalam upaya mereka menyerap informasi (Chamadiah dkk., 1987:5). Sejalan dengan itu, KTSP menyebutkan bahwa salah satu aspek yang harus ada dalam pembelajaran baik di tingkat MA ataupun perguruan tinggi adalah aspek menyimak/mendengarkan, selain dari berbicara, membaca, dan menulis. Keempat ini merupakan catur tunggal pada setiap pelaksanaan pembelajaran dilakukan. Hal itu akan menjadi sia-sia jika mahasiswa sebagai calon guru tidak dibekali dan mengalami bagaimana upaya meningkatkan kemampuan menyimak itu sendiri pada diri mahasiswa tersebut.
Dalam kaitan dengan kemampuan menyimak ini, Chamdiah dkk. (1987:3) menyatakan bahwa siswa harus mampu mengingat 109 fakta-fakta sederhana, mampu menghubungkan serangkaian fakta dari pesan yang didengarnya, dan menafsirkan makna yang terkandung dalam pesan lisan yang didiengarnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Tarigan (1990:58) menyimak bukan hanya sebatas mendengar (hearing) saja, tetapi memerlukan kegiatan lainnya yakni memahami (understanding) isi pembicaraan yang disampaikan oleh si pembicara. Lebih jauh lagi diharapkan dalam menafsirkan (interpreting) butir-butir pendapat yang disimaknya baik tersurat maupun yang tersirat. Kegiatan selanjutnya dalam proses menyimak adalah kegiatan mengevaluasi (evaluating). Pada kegiatan ini si penyimak menilai gagasan baik dari segi keunggulan maupun dari segi kelemahannya. Kegiatan akhir yakni menanggapi (responding). Pada tahap akhir ini penyimak menyembut, mencamkan, menyerap, serta menerima gagasan yang dikemukakan oleh sipembicara.
Pada sisi lain, kemampuan menyimak barulah dapat dikuasai setelah yang bersangkutan mengalamai latihan-latihan menyimak yang terarah, berencana, dan berkesinambungan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa tersebut ialah melalui proses pembelajaran menyimak. Akan tetapi, menurut Kencono (dikutip Chamadiah dkk. 1987:3) pembelajaran menyimak di perguruan tinggi ataupun di sekolah sering “dianaktirikan” atau sedikit sekali mendapat perhatian. Padahal, kemampuan meyimak sangat penting sebagai dasar penguasaan suatu bahasa.
Menyimak sebagai proses kegiatan mendengar lambanglambang lisan dengan penuh pengertian, pemahaman, dan apresiasi serta informasi, menangkap isi dan memahami makna komunikasi yang disampiakan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan, 1990:28). Berdasarkan hal tersebut, menyimak berarti adanya keterlibatan proses mental, mulai dari proses 110 mengidentifikasi bunyi, pemahaman dan penafsiran, serta penyimpanan hasil pemahaman dan penafsiran bunyi yang diterima dari luar.
Berdasarkan hal tersebut, dalam menyimak diperlukan suatu kemampuan khusus. Kemampuan ini berarti kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan (Poerwadarminta, 1984:628). Menyimak dapat juga diartikan sebagai memperhatikan baik-baik yang diucapkan atau dibaca orang (Pusbinbangsa, 1988:840). Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat dirumuskan kemampuan menyimak itu adalah kemampuan, kesanggupan, kecakapan, siswa menerima dan memahami apa yang diucapkan atau dibaca orang lain. Urias (1987:21) juga memperjelas bahwa kemampuan menyimak merupakan proses belajar mengajar dan pembentukan kebiasaan yang terus-menerus. Seperti yang kemukakan Bloom yang berhubungan dengan aspek kognitif di dalam menyimak dapat berupa kemampuan menyimak tingkat ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi (Nurgiantoro, 1995:237).
Kegitan menyimak yang baik menyangkut sikap, ingatan, persepsi, kemampuan membedakan, intelegensi, perhatian, dan motivasi yang harus dikerjakan secara integral dalam tindakan yang optimal pada saat kegiatan menyimak berlangsung baik menyimak intensif maupun ekstensif. Menyimak intensif adalah menyimak yang diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih diawasi, dikontrol pada suatu hal tertentu baik dari program pengajaran bahasa maupun pemahaman serta pengetahuan umum secara kritis, konsentratif, kretaif, eksploratif interogatif, dan selektif, berbeda dengan menyimak ekstensif. Untuk melaksanakan dan mengoptimalkan kemampuan menyimak mahasiswa tersebut, salah satu pendekatannya adalah pendekatan kontekstual.
Pembelajaran kontekstual (Contectual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu dosen 111 mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara penetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya pada kehidupan mereka sebagai calon guru. Adapun kata kunci CTL ini adalah real word learning, mengutamakan pengalaman nyata, mahasiswa aktif, kritis dan kreatif, pengetahuan berpusat pada mahasiswa, pengetahuan bermakna dalam kehidupan yang dekat dengan kehidupan yang nyata, terjadi perubahan perilaku, mahasiswa praktik bukan menghapal, learning bukan teaching dan pendidikan bukan pengajaran, pembentukan manusia, memecahkan masalah, mahasiswa acting guru mengarahkan, dan hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya melalui tes. Dengan cara ini kemampuan menyimak mahasiswa dapat ditingkatkan.

B. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kontekstual
Prinsip pembelajaran Kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran. Berikut adalah uraian mengenai ketujuh komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual :
1.      Kontrukstivisme (constructivism)
Salah satu landasan teoritis pendidikan modern termasuk CTL adalah teori pembelajaran konstruktivisme. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya  siswa membangun sendiri pengetahun mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai pada  pembelajaran siswa aktif. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Menurut Nurhadi kontruktivisme merupakan  landasan berpikir dalam pendekatan belajar Kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Dalam hal ini, manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan  ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan  dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan  dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan  aktif dalam proses  belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru.
2.      Menemukan (inquiri)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari proses pembelajaran Kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam hal ini tugas guru yang harus selalu merancang kegiatan yang selalu merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.
3.      Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Kontekstual. Dalam proses pembelajaran bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya bagi siswa yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Guru dapat menggunakan teknik bertanya dengan cara memodelkan keingintahuan siswa dan mendorong siswa agar mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang gejala-gejala yang ada, belajar bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan, dan belajar bertanya tentang bukti, dan penjelasan-penjelasan yang ada. Dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya berguna untuk; (1) Menggali informasi baik administrasi maupun akademis; (2) Mengecek pemahaman siswa; (3) Membangkitkan respon kepada siswa; (4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; (6) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (7) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; (8) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan (9) Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4.      Masyarakat belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil pembelajaran diperoleh dari berbagi antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu dengan yang tidak tahu. Sehingga menimbulkan komunikasi dua arah, saling memberikan informasi satu dengan yang lain.
Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan, yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
5.      Pemodelan (modeling)
Pemodelan maksudnya adalah bahwa dalam suatu pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu harus ada model yang ditiru. Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan pembelajaran. Prinsip pembelajaran modeling merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Proses modeling tidak terbatas dari guru saja akan tetapi guru dapat memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Artinya dalam pembelajaran Kontekstual guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Misalkan siswa yang pernah menjadi juara dalam olimpiade matematika dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dianggap sebagai model. Modeling merupakan prinsip yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab dengan modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang abstrak.
6.      Refleksi (reflection)
Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan lagi aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang  pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan Kontekstual, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengingat kembali apa yang telah dipelajari. ”Biarkan secara bebas siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya”.
7.      Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment)
Tahap terakhir dari pembelajaran Kontekstual ialah melakukan penilaian sebenarnya. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian sebenarnya adalah penilaian  yang dilakukan berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran yang meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukan mendapat penghargaan. Penilaian sebenarnya menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa. Penilaian yang dilakukan tidak hanya dilakukan guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain.
Adapun diagram dari ketujuh komponen pembelajaran Kontekstual adalah:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe9BHoTJP3fz33AB9qEOdPOGVt24d4tSxz8Jt0u6th78NGvnWpUDI16bEKopNj16QcVzHK31el_qqirCaQaGT2dGDsl9m9IbHYPtPTpjv0VNpI8xb_hEnASnd-d4QTVsZDtj1OLcSDmw4G/s280/12121.JPG


Secara ringkas tujuh pilar CTL (Suparno, 1997:54) dan kelemahan pembelajaran tradisional dapat disusun dalam tabel berikut :
Tabel : Perbandingan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional 
No.
Pilar/Solusi, Indikator Masalah
Pendekatan CTL
Pendekatan Tradisional
1
Konstruktivisme
Belajar berpusat pada siswa untuk mengkonstruksi bukan menerima
Belajar yang berpusat pada guru, formal, serius
2
Inquiri
Pengetahuan diperoleh dengan menemukan, menyatukan rasa, karsa dan karya
Pengetahuan diperoleh siswa dengan duduk manis, mengingat seperangkat fakta, memisahkan kegiatan fisik dengan intelektual
3
Bertanya
Belajar merupakan kegiatan produktif, menggali informasi, menghasilkan pengetahuan dan keputusan
Belajar adalah kegiatan konsumtif, menyerap informasi menghasilkan kebingungan dan kebosanan
4
Masyarakat Belajar
Kerjasama dan maju bersama, saling membantu
Individualistis dan persaingan yang melelahkan
5
Pemodelan
Pembelajaran yang Multi ways, mencoba hal – hal baru, kreatif
Pembelajaran yang One way, seragam takut mencoba, takut salah
6
Refleksi
Pembelajaran yang komprehensif, evaluasi diri sendiri/internal dan eksternal
Pembelajaran yang terkotak – kotak, mengandalkan respon eksternal/guru
7
Penilaian Otentik
Penilaian proses dan hasil, pengalaman belajar, tes dan non tes multi aspects
Penilaian hasil, paper and pencil test, kognitif


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NAMA BANTARA SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015

BANTARA  SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015 Azmi Zukhruf . F Agung Saepudin Deden Darmawan Ika Irawan ...