MATERI SASTRA DAN KEARIFAN LOKAL


MATERI SASTRA DAN KEARIFAN LOKAL

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Sastra
Sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

2.1.1 Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :
1)      Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
2)      Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
3)      Irama, dan
4)      Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.
3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi:
1)      Kesusastraan zaman purba,
2)      Kesusastraan zaman Hindu Budha,
3)      Kesusastraan zaman Islam, dan
4)      Kesusastraan zaman Arab – Melayu.
b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
1)      Hikayat Abdullah
2)      Syair Singapura Dimakan Api
3)      Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
4)      Syair Abdul Muluk, dll.
c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
1)      Balai Pustaka / Angkatan ‘20
2)      Pujangga Baru / Angkatan ‘30
3)      Jepang
4)      Angkatan ‘45
5)      Angkatan ‘66
6)      Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang

2.2 Kaidah-Kaidah Sastra
Waluyo, (1994:56-58) mengatakan bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya yakni cerita dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam menciptakan daya pikat. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan,yaitu kreativitas, tegangan, konflik, dan jarak.Uraian keempatnya, bagaimana dikutip dari Waluyo (1994:58-60) .
1.            Kreativitas
Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin menempati perhatian pembaca. Kreativitas ditandai dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang biasanya menunjukkan daya kreativitas yang membedakan karyanya dengan karya yang mendahului. Dalam sejarah sastra Indonesia para pembaharu sastra Indonesia yang menunjukkan daya kreativitas mereka seperti Marah Rusli ( Siti Nurbaya), Abdul Muis ( Salah Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana ( Layar Terkembang), Armijn Pane ( Belenggu), Achdiat Kartamiharja (Atheis), Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung), dan sebagainya.
Penemuan – penemuan hal yang baru itu mungkin melalui peniruan terhadap karya yang sudah ada dengan jalan memperbaharui, namun mungkin juga melalui pencarian secara modern untuk menemukan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya mengulang apa yang sudah diungkapkan oleh pengarang lain.
2.            Tegangan ( Suspense )
Jalinan cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dari pembaca merupakan tegangan cerita. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mendebarkan pembaca atau pendengar cerita. Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita didalam merangkai kisah dan pencerita mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Terkadang segenap pemikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasi ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan ynag dirangkai oleh penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu pembaca , penulis memberikan jawaban-jawaban yang mengejutkan. Pengarang – pengarang cerita besar seperti Agata Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya mampu menciptakan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga ceritanya memiliki suspense yang memikat.
3.            Konflik
Konflik yang dibangun dalam sebuah cerita harus bersifat wajar dan kuat. Konflik yang wajar artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya tidak seimbang, maka konflik menjadi tidak wajar karena pembaca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya. Konflik itu juga harus kuat.
Dalam kisah kehidupan sehari-hari, konflik yang kuat biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Roman Salah Asuhan dan Belenggu memiliki konflik yang begitu kuat karena problem yang menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan. Hal ini berbeda dengan konflik yang dibangun melalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam putih,maka konflik dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya.
4.            Jarak Estetika
Daya pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat pengarang memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita dan tokoh-tokoh cerita itu. seolah – olah pengarang menguasai benar dunia dari tokoh cerita itu, sehingga pengarang ikut terlibat dalam diri tokoh dan ceritanya. Jika keadaan ini dapat dilakukan pengarang ,pembaca akan lebih yakin akan hadirnya cerita dan tokoh. Seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan saja.
Seperti halnya dalamcerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika adegan terakhir Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin akan merasa menyaksikan dua ksatria bertempur di tepi Parangtritis, di siang hari ketika matahari terik, dan tiba-tiba Mushashi melompat menghantam kepala Kojiro dengan pedang. Ini dpat terjadi karena kekuatan cerita yang pengarang ciptakan dengan membuat jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.

2.3 Wilayah Studi Sastra
Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra ( Wellek dan Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35). Pengertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Pradopo (2002) dan Fananie (2000) berikut ini.
1.    Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan , seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre), yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk membedakan jenis sastra dan sebagainya (Pradopo, 2002:34).
Perihal unsur-unsur atau lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsik sastra berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya (Fananie, 2000: 17-18).
2.    Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya. Pokoknya semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode ke periode (Pradopo,2002:34).
Dikemukakan oleh Fananie (2000;19-20) bahwa berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi :
a.    Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-karya sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut dititik beratkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya.
b.    Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji karya-karya sastra berdasarkan periodisasi atau babakan waktu tertentu. Di Indonesia penulisan sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi periodisasi tahun 20-an, yang melahirkan angkatan Balai Pustaka, tahun 30-an yang melahirkan angkatan Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun 45, tahun 60-an yang melahirkan Angkatan 66 dan sastra mutakhir atau kontemporer.
c.    Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan masa kini. Bandingan tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara seperti sastra Eropa dengan sastra Indonesia,Melayu, dan sebagainya. Aspek-aspek yang dibandingkan dapat meliputi beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek, yaitu :
1)   Comparative literature : The study of oral literature  expecially of falle talk themes and then imigration, of how and other they have entered higher artistic. ( Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra cerita rakyat dan cerita kepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra rakyat tersebut berkembang/ masuk pada bagian yang lebih tinggi pada keindahan sastra itu yang bersifat aristik).
2)   The study of relationship betwen two or more literature.(Hubungan kajian antara dua atau beberapa karya sastra).
3)   The study of literature in its totality. (Kajian sastra secara keseluruhan).
3.    Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar, dan memberikan penilaian (Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik  sastra itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu hasil dari kritik sastra biasanya mencakup dua hal , yaitu baik danburuk (goodness atau dislikeness) (2000:20).

2.4 Wilayah Kesusastraan
Kesusastraan dibagi menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah kesusastraan itu adalah :
1.    Wilayah penciptaan sastra
2.    Wilayah penikmatan sastra
3.    Wilayah penelitian sastra
Dikemukakan oleh Mursal Esten (1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu. “Wilayah penciptaaan kesusastraan adalah wilayah para sastrawan , yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu. Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus.
Mereka berusaha menjelaskan, menafsirkan, dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu saja mereka harus melengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat ialah wilayah para pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.”

2.5 Sastra Nusantara
2.5.1 Pengertian Sastra Menurut Para Ahli
·         Istilah Nusantara pertama kali dipakai oleh kerajaan Majapahit untuk menyebut daerah-daerah kekuasaannya.
·         Kata Nusantara sendiri merujuk pada periode khusus ketika Indonesia dikuasai oleh Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. Majapahit adalah negara kesatuan Indonesia di masa silam (Vlekke, 1958 : 15).
·         Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya (Hamidy, 1994 : 7).
·         Sastra Nusantara tidak berdiri sendiri, ia terbentuk dari sinkretis antar daerah-daerah di wilayah nusantara.
·         Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris (2001 : 151) bahwa dalam Sastra Nusantara terdapat sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra lombok, dan sastra Madura seperti Babad Tanah Jawi, Babad Blambangan, Cerita Dipati Ukur, Sejarah Suka Pura, Babad Buleleng, Babad Lombok, dan Babad Madura.
·         Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya (Hamidy, 1994 : 7).
·         Sastra Nusantara juga biasa disebut sebagai sastra daerah. Sastra daerah merupakan bagian dari sastra nusantara yang mewakili kemajemukan daerah yang ada di Indonesia. Karya sastra daerah berkembang di daerah dan diungkapkan dengan menggunakan bahasa daerah. Sastra daerah juga mempunyai kedudukan di tengah masyarakat. Sastra merupakan salah satu jenis kesenian selain seni musik, seni rupa, seni patung, seni menggambar, dan seni pertunjukan (Koentjaraningrat, 2005 : 20).
·         Sastra Daerah adalah ciptaan masyarakat pada masa lampau atau mendahului penciptaan sastra Indonesia moderen.
·         Sastra daerah dapat dimasukkan sebagai satu aspek budaya Indonesia yang memperkaya budaya nasional dan menjadi alternatif kedua yang perlu dipertimbangkan dan dikembangkan selain sastra Indonesia (Tuloli, 2001 : 209).


2.6 Pengaruh Sastra Nusantara terhadap Sastra Modern dan Kontemporer
a. Puisi dan Dekonstruksi
Sastra nusantara memberikan inspirasi baru bagi penyair modern kontemporer antara lain, Sutardji Calzoum Bachri. Upaya dan perjuangan Sutardji menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Menurut Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Bagi Sutardji, menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata pada mantra adalah mengeluarkan kata dari konveksi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri. Pada dasarnya, kata tidak ada hubungan intrinsik dengan maknanya – suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teori teoretisi post-modernis – diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tidak ada hubungan intrinsik apapun dengan isi puisi. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkan tidak dilakukan dengan berteori, tetapi laksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
b. Prosa dan Dekonstruksi
Dekonstruksi teks adalah sebuah konstruksi baru, hasil dari sebuah reinterpretasi terhadap teks yang ada.
Cerpen Putu Wijaya yang sudah terbit tidak dibiarkan berhenti dengan titik tetapi lalu dilanjutkannya sehingga alur cerita mengalir sesuai kehendak Putu Wijaya. Yang dilakukan bukan hanya melakukan kilatan (alussion), yakni menyinggung karya Putu Wijaya dalam karyanya tetapi benar-benar masuk dalam karya itu dan kemudian mencoba mengulurnya serta menyeretnya ke arah lain.
Mendekonstruksi dongeng yang ada menjadi , sebuah dogeng yang baru yang diupayakan untuk tidak merusak citra tokoh-tokoh dalam dongeng aslinya. Kita tahu, sejumlah bedaya menganggap sebuah dongeng adalah sebuah catatan sejarah, sebuah fakta historis sehingga dilakukan sejumlah aktivitas historis terhadap tokoh-tokoh dalam dongeng tersebut.

PEMBAHASAN
1.1       Kearifan Lokal
Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilaitersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Ilmuwan antropologi, seperti Koentjaraningrat, Spradley, Taylor, dan Suparlan, telah mengkategorisasikan kebudayaan manusia yang menjadi wadah kearifan lokal itu kepada idea, aktivitas sosial, artifak.
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok manusia dan dijadikan sebagai pedoman hidup untuk menginterpretasikan lingkungannya dalam bentuk tindakan-tindakannya sehari-hari. Negara Indonesia sangat majemuk dan mempunyai petatah-petitih Melayu, bahasa kromo inggil Jawa, petuah yang diperoleh dari berbagai suku di Indonesia.

1.      Hakikat Kearifan Lokal
Menurut asal kata, kearifan lokal terbentuk dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echlos dan Hassan Shadily, localberarti ‘setempat’ sedangkan wisdom adalah ‘kebijaksanaan’. Jadi local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersikap bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Berikut ada beberapa pandangan mengenai kearifan lokal :
1.      S. Swarsi menyatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
2.      Phongphit dan Nantasuwan menyatakan kearifan lokal sebagai pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masyarakat turun temurun antargenerasi.
3.       I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
4.      H. Q. Wales menjelaskan bahwa kearifan lokal berarti kemampuan budaya setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan.
5.      Haryati Soebadio mengatakan bahwa kearifan lokal adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
6.      UU No.32 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang kearifan lokal yaitu nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan komunitas tersebut.

2.      Wujud Kearifan Lokal
Bentuk-bentuk Kearifan Lokal Haryanto ( 2014:212) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah Kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu kearifan dari budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi Cinta kepada Tuhan, alam semesta beserta isinya,Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, Jujur, Hormat dan santun, Kasih sayang dan peduli, Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah hati,Toleransi,cinta damai, dan persatuan.
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible):
a. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut: tekstual beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemukakan dalam keberadaan prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat.
Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni) Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
b.Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
3.      Fungsi Kearifan Lokal
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, salah satu kearifan lokal adalah ungkapan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang bermakna fungsi pendidik sebagai teladan, dinamisator, dan motivator (Suryadi, 2009: 57). Ungkapan ini sejalan dengan ungkapan yang ada pada etnis Bugis mengatakan “Rioloi Napatiroang, Ritengngai Naparaga-raga, Rimonrii Napaampiri” yang dapat diartikan: ia menjadi teladan jika berada di depan kita, ia akan menjadi dinamisator jika berada ditengah bersama kita, ia menjadi motivator jika ia berada di belakang kita.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi, seperti yang telah dikemukan oleh Sartini (2004: 113), yaitu: (1) berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) berfungsi untuk pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia; (3) berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial, misalnya pada upacara integrasi komunal/kerabat dan upacara daur pertanian; (6) bermakna etika dan moral; serta (7) bermakna politik.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.


Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah sebagai berikut, (Ayat, 1986:40-41):
  1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar. 
  2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. 
  3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. 
  4. Memberi arah pada perkembangan budaya

4.      Makna dalam Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya dan modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.



PEMBAHASAN
A.    Hakikat Multikultural
Raymond Williams menyatakan bahwa istilah “culture” merupakan salah satu istilah yang paling sulit didefinisikan dalam kamus bahasa Inggris. Selain itu multikulturalisme juga merujuk pada kemajemukan budaya dan akhirnya multikulturalisme juga mengacu pada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut. Lawrence Blum menawarkan definisi sebagai berikut: “Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain.Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri”. Menurut Muslikhah “Multikulturalisme merupakan suatu paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan”. Sedangkan menurut Zukiyudin Baidhawy “Multikulturalisme adalah orang-orang yang hidup berdampingan yang satu dengan lainnya”.
Multikulturalisme sendiri dimaknai sebagai hadirnya sejumlah masyarakat dan kebudayaan yang berdampingan, meraka saling terjalin suatu interaksi dan dalam interaksi tersebut dikembangkan suatu pemahaman satu sama lain untuk dapat saling menghargai, bertoleransi, rukun dan menghargai. Multikulturalisme bukan merupakan cara pandang yang menyamakan kebenaran-kebenaran lokal, melainkan justru mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangunsikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan dan mempertahankan identitas budaya mereka.
Jenis-jenis Multikulturalisme
1.    Multikulturalisme Isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam saling-interaksi minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup bersama.
2.    Multikulturalisme Akomotadif: mengacu pada visi masyarakat yang bertumpu pada satu kebudayaan dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas.
3.    Multikulturalisme Mandiri: mengacu pada visi masyarakat di mana kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya-budaya dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam satu kerangka politik kolektif yang dapat diterima.
4.    Multikulturalisme Kritis atau Interaktif: merujuk pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam menciptakan suatu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda.
5.    Multikulturalisme Kosmopolitan: mengacu oada visi masyarakat yang berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi para individu yang kini tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.

B.     Sejarah Multikulturalisme
Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Canada, Australia adalah sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori mulikulturalisme dan pendidikan multikultural, karena mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyang tanah asalnya.
Dalam sejarahnya menurut Melani Budinata, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwawancarakan oleh J.Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh White Anglo Saxon Protestant (WASP) bagai kultur imigran kulit putih berasal dari Eropa.  Ketika komposisi etnis Amerika kian beragam dan budaya mereka kian majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowe. Teori ini sebagai teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen.
 Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad bowl atau teori goda-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya, interaksi kultural antara berbagai etnis tetap memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dikembangkan teori gerak yang pluralis, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnis mengarikulasikan budaya politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga mempunyai ruang private yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitas secara leluasa.
Multikulturalisme secara etimologis marak di gunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah ’multiculturalism’merupakan deviasi dari kata ’multicultural’dengan menyetir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat ’multicultural’dan ’multi-lingual’. (Muheamin el-Ma’hady, 2004: 4) Namun secara gerakan, sekitar tahun 1970-an multikutarlisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya. (Mun’im A. Sirry, 2002: 1)
Sedangkan menurut Tilaar, pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tetang ’interkulturalisme’ seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran ’interkulturalisme’ ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara baru merdeka bermigrasi Amerika dan Eropa. (Hero Nugroho: 2008)
Di negara-negara bekas jajahan muncullah gerakan yang dapat kita sebut poskolonialisme yang melihat keburukan dari praktik-praktik kolonial yang membedakan harkat manusia. Ada bangsa penjajah, bangsa super, dan bangsa dijajah atau yang didominasi oleh bangsa lain. Termasuk dalam pandangan ini adalah supremasi kulit putih dan supremasi kebudayaan Barat. Timbul reaksi biner ini seperti munculnya gerakan orientalisme dan gerakan–gerakan poskolonialisme lainnya. Di negara-negara maju termasuk bekas-bekas penjajah maupun negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, terdapat tentangan terhadap praktik-praktik kehidupan demokratis. Di Amerika Serikat, kita kenal mengenai rasisme yang melahirkan manusia seperti Martin Luther King dan gerakan-gerakan menghapuskan rasisme dalam praktik kehidupan. Pemikiran-pemikiran ini merembas ke dalam dunia pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang di anggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Indonesia sendiri,  telah  menyadari tentang kemajemukan ragam etnik dan budaya masyarakatnya. Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman etnik tetapi memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama menuju masyarakat adil makmur dan sejahtera. Akan tetapi, gagasan besar tersebut kemudian tenggelam dalam sejarah dengan politik mono-kulturnya di zaman Soekarno dan Soeharto.  Demokrasi  terpimpin  yang diusung Soekarno telah mematikan kreativitas-kreativitas lokal daerah yang berbasis etnik dan budaya tertentu. Demikian pula dengan manajemen pemerintahan yang sentralistik zaman Soeharto, sehingga falsafat Bhinneka Tunggal Ika, kemudian hanya menjadi slogan tetapi tidak pernah mewujud dalam teori ketata negaraan, hubungan sosial maupun pranata  sosial lainnya.
Ketika simpul-simpul yang mengikat demokratisasi itu dibuka dan dilepas zaman reformasi, maka gagasan multikulturalisme  kini mengemuka, dan langsung memasuki wilayah pendidikan, yang seharusnya teori-teori multikulturalismenya itu dirumuskan terlebih dahulu oleh para ahli bidang ilmu-ilmu sosial politik. Dengan demikian, Indonesia tidak akan memiliki pretensi untuk kembali pada teori melting pot atau salad bowl. Indonesia, sebagaimana dikuatkan oleh para ahli yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan multietnik, justru menjadikan multikulturalisme sebagai common platform dalam mendesain pembelajaran yang berbasis Bhinneka Tunggal Ika, bahkan nilai-nilai tersebut diupayakan melalui mata pelajaran kewarganegaraan dan didukung pula oleh pendidikan agama.


C.    Pendidikan Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah konsep pembudayaan, dan oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural dapat diciptakan melalui proses pendidikan(HAR Tilaar, 2004). Pendidikan dan pembudayaan merupakan suatu proses pembentukan karakter bangsa dan warga negara. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Tobroni dan kawan-kawan dalam bukunya Pendidikan Kewarganegaraan (2007) menyatakan bahwa Pendidikan multikultural dapat dilihat dalam tiga hal yaitu: 1) Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau idea, 2) pendidikan mutikultural sebagai suatu gerakan dan 3) pendidikan multikultural sebagai sebuah proses. Oleh karenanya pendidikan multikultural memerlukan pengkajian yang mendalam, pengisian dan pengayaan konsep yang sempurna, dan penerapan yang cermat .
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, budaya, agama dan golongan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional juga harus mengakomodasi kemajemukan dan keragaman budaya tersebut. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh seberapa besar kepedulian pendidikan terhadap masalah pluralism (kemajemukan) dan multikulturalisme (keragaman budaya, agama dan kesederajatan) ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu (Zamroni, 2001). Di sisi lain pendidikan juga memiliki peran sebagai culture heritage, yaitu sebagai pewarisan kebudayaan kepada generasi muda. Oleh karena itu, generasi tua harus dapat mewariskan sesuatu yang baik terhadap generasi berikutnya.
Pendidikan Nasional pada masa yang lalu, belum banyak mengadopsi kemajemukan dan keberagaman budaya. Pendidikan saat itu tidak dirancang dan bukan dalam kapasitas untuk mengantisipasi dan menanggulangi masalah yang disebabkan oleh perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, perbedaan golongan, dan kesalahpahaman antarbudaya atau benturan antar golongan dan kepentingan. Sekalipun belum ada mata pelajaran pendidikan multikultural, atau pendidikan multikultural tidak tersurat dalam kurikulum sekolah, namun pendidikan dapat mengakomodasikan multikulturalisme dalam kurikulum atau mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam mata pelajaran yang sesuai seperti PKN, dan mata pelajaran IPS.
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 mulai butir (1) sampai dengan butir (6) menunjukkan bahwa multikulturalisme menjadi landasan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, menyelenggarakan Pendidikan Multikultural menjadi kewajiban sekolah sesuai dengan bunyi Pasal 4 butir (1) bahwa: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pasal 36 butir (3) berbunyi bahwa: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1.      Peningkatan iman dan takwa;
2.      Peningkatan akhlak mulia;
3.      Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4.      Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5.      Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6.      Tuntutan dunia kerja;
7.      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8.      Agama;
9.      Dinamika perkembangan global; dan
10.  Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal tersebut, pemerintah Indonesia memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis multikulturalisme yaitu pendidikan multikultural. Pendidikan nasional memberikan landasan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bagsa. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di negeri kita harus membawa pesan dan berlandaskan pendidikan multikultural.
Lebih lanjut dijelaskan melalui Pasal 36 butir (3), bahwa kurikulum disusun dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Lingkup bahasan harus menjangkau dinamika perkembangan global yang mengantisipasi masalah- masalah keduniaan. Ini membuktikan bahwa pendidikan multikultural mendapatkan tempat yang seharusnya dalam kurikulum sekolah. Sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesuai dengan kebutuhan, lingkungan dan kondisi sekolah. Sekolah dapat mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam mata pelajaran di sekolah terutama mata pelajaran PKN dan IPS, bahasa dan sebagainya.
Menurut Undang-undang No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertnggung jawab. Tuntutan fungsi pendidikan itu menghendaki warga negara yang memiliki watak, dan berakhlak mulia, yang demokratis dan mertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan multikultural merupakan tuntutan pendidikan nasional, karena pendidikan multikultural sesuai dengan fungsinya sebagai pembentukan watak warga negara yang diarahkan pada kerukunan antar budaya, dan learning to live together (UNESCO).
Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan paradigma baru dalam pendidikan, yaitu merancang kurikulum masa depan yang berorientasi pada learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together. Learning to live together merupakan usaha untuk merespons berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya keberagaman dan kemajemukkan yang dipertajam oleh perbedaan. Dalam kaitannya dengan multikulturalisme pendidikan diarahkan untuk memberikan bekal kepada anak didik agar dapat hidup dalam masyarakat majemuk yang memiliki budaya yang sangat beragam. Untuk bisa hidup bersama, berdampingan dengan sesama warga negara lainnya walaupun berbeda kultur, agama, etnik dan golongannya. UNESCO dalam sidangnya pada bulan Oktober 1999 di Geneva (Deddy, 2000) merumuskan sebagai berikut:
1.      Pendidikan seyogyanya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan baik pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
2.      Pendidikan sebaiknya menumbuhkan solidaritas dan kesamaan pada tataran nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan yang seimbang dan lestari.
Hasil sidang UNESCO tersebut dapat dijadikan acuan agar pendidikan mulai memperhatikan keberagaman budaya sebagai salah satu aspek yang dijadikan dasar untuk membahas kebijakan pendidikan. Pendidikan multikultural adalah tuntutan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikaji secara seksama mengenai konsep, sistem dan implementasinya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan multikultural erat kaitannya dengan pengembangan karakter warga Negara Indonesia sebaga anggota masyarakat pluralism, dan multikulturalisme dalam tatanan yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, dalam diri siswa akan ditanamkan hal-hal seperti berikut:
1.  Hubungan yang akrab dengan sesama siswa yang memiliki latar belakang sosial budaya yang beraneka ragam.
2.  Sikap berempati siswa dengan cara mengamati sikap, pandangan, perasaan dan persepsi siswa lain yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
3.  Rasa menghormati dan menghargai nilai budaya dan kepentingan yang beragam sebagai kekayaan bangsa yang harus dijaga kelestariannya.
Tobroni dkk (Tobroni, 2007) menyatakan bahwa Pendidikan Multikutural” adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua siswanya tanpa memandang jenis kelamin , kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya. Walaupun pengertian tersebut sangat sederhana, pendidikan multikultural harus diberi makna dan sesuai dengan fungsi pendidikan nasional. Gorski dan Colvert dalam Tobroni mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut.
1.    Setiap siswa harus mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi dirinya;
2.    Mempersiapkan setiap siswa untuk berpartisipasi secara kompeten dalam masyarakat interbudaya;
3.    Guru dipersiapkan agar dapat membantu belajar setiap siswa secara efektif tanpa memandang latar belakang budaya yang berbeda;
4.    Sekolah harus berpartisipasi aktif dalam mengakhiri segala bentuk penindasan;
5.    Pendidikan harus berpusat pada siswa dan terbuka terhadap aspirasi dan pengalaman siswa.
Pendidikan multikultural berorientasi pada aktivitas siswa, dan perilaku siswa banyak dipengaruhi oleh budayanya. Oleh karena itu, pendidikan multikultural berupaya membantu siswa mengembangkan semua potensi sebagai pelajar dan anggota masyarakat. Untuk mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam pelajaran di sekolah terutama dalam mata pelajaran PKN, alangkah baiknya dikemukakan Permendiknas Nomor 22 tah 2006, tentang ruang lingkup mata pelajaran PKN untuk pendidikan dasar dan menengah, seperti berikut.
1.      Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi; hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap negara kesatuan RI, keterbukaan dan jaminan keadilan.
2.      Norma, hukum dan aturan, mencakup; tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sisem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
3.      Hak asasi manusia (HAM) meliputi; hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan-penghormatan dan perlindungan HAM.
4.      Kebutuhan warganegara meliputi; hidup gotong royong, harga diri sebagai masyarakat, kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, mengahargai keputusan bersama, prestasi diri, dan persamaan kedudukan warga negara,
5.      Konstitusi negara, meliputi; proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi yang pernah digunakan Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
6.      Kekuasaan dan politik, meliputi; pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
7.      Pancasila meliputi; kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
8.      Globalisasi meliputi; globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Lingkup materi untuk pendidikan dasar dan menengah tersebut cukup memberikan gambaran  dan landasan bagi diintegrasikannya pendidikan multikultural di sekolah. Sekolah harus meramu dan mengemasnya ke dalam pelajaran PKN melalui lingkup materi persatuan dan kesatuan, norma, hukum dan aturan, HAM, kebutuhan warga negara, kekuasaan dan politik, Pancasila, dan lingkup globalisasi. Pada lingkup ini dapat diintegrasikan pendidikan multi kultural sehingga terciptalah PKN berbasis multikultural.


PEMBAHASAN
A.  Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan adalah “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Dalam bahsa Latin makna ini sama dengan colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama menyangkut tanah. Konsep tersebut lambat laun berkembang menjadi segala upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Wiranata, Antropologi Budaya (2018: 95)
E.B. Taylor (1871) berpendapat bahwa, “Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”
Lain lagi halnya menurut R. Linton (1947) ia menyimpulkan bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Menurut Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka, kata “kebudayaan” (culture) merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris. Mengapa demikian? Menurutnya, kata ini sering mengacu pada sejumlah konsep penting dalam beberapa disiplin ilmu yang berbeda-beda pula. Pada awalnya “culture” dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation), yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan istilah kultus atau “cult”). Sejak abad ke-16 hingga 19, istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Mudji dan Hendar, Teori-teori Kebudayaan (2005: 7, 8)

A.    Unsur yang Terdapat dalam Kebudayaan
Kluckhon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. Koentjaraningrat mengartikan istilah universal sebagai unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian. Siany dan Atiek, Khazanah Antropologi 1 (2009: 58)

B.     Wujud Kebudayaan
Dalam memahami sebuah kebudayaan maka setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan di atas harus dibagi menjadi tiga kategori wujud kebudayaan, yaitu sistem ide, aktivitas, dan artefak. Siany dan Atiek, Khazanah Antropologi 1 (2009: 58)
Wujud kebudayaan sebagai sistem ide bersifat sangat asbstrak, tidak bisa diraba atau difoto dan terdapat dalam alam pikiran individu penganut kebudayaan tersebut. Wujud kebudayaan sebagai sistem ide hanya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari yang mewujud dalam bentuk norma, adat istiadat, agama, dan hukum atau undang-undang. Contoh wujud kebudayaan sebagai sistem ide yang berfungsi untuk mengatur dan menjadi acuan perilaku kehidupan manusia adalah norma sosial.
Wujud kebudayaan sebagai sistem aktivitas merupakan sebuah aktvitas atau kegiatan sosial yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat. Sistem ini terdiri atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan secara kontinu dengan sesamanya. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, bisa difoto, dan bisa dilihat. Misalnya, upacara perkawinan masyarakat Flores, atau proses pemilihan umum di Indonesia.
Wujud kebudayaan sebagai sistem asterfak ialah wujud yang paling konkret, bisa dilihat, dan diraba secara langsung oleh pancaindra. Wujud kebudayaan ini adalah berupa kebudayaan fisik yang merupakan hasil-hasil kebudayaan manusia berupa tataran sistem ide atau pemikiran ataupun aktivitas manusia yang berpola. Misalnya, kain ulos dari Batak atau wayang golek dari Jawa. Siany dan Atiek, Khazanah Antropologi 1 (2009: 56, 57)

C.    Hakikat Tradisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V, tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. (KBBI, V) Ada yang menyebutkan bahwa tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Selain itu, Hasan Hanafi juga berpendapat bahwa tradisi (turats) ialah segala warisan masa lampau yang masuk pada kita dan masuk kedalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Dengan demikian, Hanafi memiliki pandangan lain dari tradisi, yaitu tidak hanya merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia merujuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang.
Contoh tradisi yang ada di Indonesia: Nyandran di Jawa; Ronggeng di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat; Belis di Timor, Sumba, Alor, dan Flores. (Yanu,  Mengenal Tradisi Bangsa (2010: 1 – 21) Dan masih banyak lagi tradisi yang ada di Indonesia.

PEMBAHASAN

A. Tradisi dalam Khazanah Sastra Nusantara
Keberadaan budaya daerah dan adat istiadat yang melahirkan pola kehidupan, tradisi dan bahasa daerah di Indonesia merupakan aset yang tidak ternilai harganya, karena kebudayaan daerah itu sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang ikut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan secara nasional. Kekayaan khasanah sastra di Indonesia memang banyak dan luar biasa. Di Indonesia terdapat ratusan jenis bahasa daerah yang dengan sendirinya memiliki ratusan jenis sastra daerah. Kekayaan khasanah sastra Nusantara secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu: sastra lisan, sastra tulis dan sastra modern (Semi, 1993:3).
Kehadiran sastra lisan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan cerminan solidaritas dan pengenal identitas yang disampaikan secara lisan dan memiliki tujuan tertentu. Atmazaki (2007:138) menyatakan bahwa sastra lisan mempunyai banyak fungsi. Dengan sastra lisan, masyarakat purba atau nenek moyang umat manusia mengekspresikan gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan. Emosi cinta diungkapkan lewat puisi-puisi sentimental, binatang buas dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra. Asal-usul nama daerah, hukum adat, dan macam-macam kearifan yang dicurahkan melalui berbagai mitos, dongeng, tombo, dan riwayat. 
Menurut bentuknya, sastra lisan dapat diklasifikasikan sebagai prosa, puisi, dan prosa liris. Menurut Karimi (dalam Esten, 1993:12) adalah: (1) kunun, (2) dongeng (mitos, sage, legend, dan fabel), (3) cerita penggeli hati, (4) cerita pelipur lara, (5) cerita perumpamaan, (6) cerita pelengah, dan (7) kunun baru.  Cerita yang berhubungan dengan asal-usul suatu benda, binatang atau tumbuh-tumbuhan berdasarkan gejalagejala yang terdapat pada alam atau rupanya sekarang ini, disebut etiologi (Djamaris, 1990: 47).
Etimologi tempat atau kejadian suatu tempat merupakan cerita tentang asal-usul atau penamaan tempat atau kejadian yang terdapat dalam beberapa daerah. Cerita rakyat asal-usul nama daerah, misalnya cerita rakyat di pulau Sumatera, yaitu asalusul Lonceng Cakra Donya Banda Aceh, asal-usul Kera Putir di Gunung Panjang Aceh Tengah, asal-usul Goa Loyang Pukes Aceh Tengah, asal-usul nama Negeri Tapak Tuan Aceh Selatan, asal-usul terjadinya Danau Toba di Sumatera Utara, asal-usul nama beberapa Kota dan Nagari Sumatera Barat, asal-usul nama Kota Palembang Sumatera Selatan, asalusul nama Kepulauan Riau, dan asalusul nama Bukit Tambun Tulang Kerinci di Bengkulu (Ananda, 1995:8). Begitu pula cerita rakyat di seluruh Nusantara yang berhubungan dengan penamaan tempat, misalnya cerita rakyat asal-usul nama Tengger, cerita rakyat terjadinya Gunung Batok, cerita rakyat penamaan Sungai Perak, cerita rakyat asal mula kampung Labewa di Sulawesi Selatan, cerita rakyat asal mula nama Jember, dan lain sebagainya (Djamaris, 1990:53-54).
Danandjaja (dalam Endraswara, 2013:200) menyatakan bahwa istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari folklor lisan. Sedangkan menurut Brunvand (dalam Endraswara, 2013:200) folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini, antara lain: 1) Ragam tutur rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, jabatan tradisional, dan gelar kebangsawanan; 2) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, pameo; 3) Pertanyaan tradisonal, seperti teka-teki; 4) Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; dan 5) Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng).
·         Khazanah Sastra Nusantra
Sastra Bali merupakan salah satu khazanah kesusastraan Nusantara. Seperti kesusastraan umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan (orality) dan bentuk tertulis (literary). Menurut katagori periodisasinya kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa maksudnya adalah Sastra Bali yang diwarisi secara tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sastra Bali Anyar yaitu karya sastra yang diciptakan pada masa masyarakat Bali telah mengalami modernisasi. Ada juga yang menyebut dengan sebutan Sastra Bali Modern.
Sastra Bali ditulis dengan menggunakan berbagai media seperti batu, lempengan tembaga, bilah bambu, kulit binatang, kayu, kulit kayu, kertas, dan daun lontar (daun siwalan). Bahasa yang digunakan untuk menulis Sastra Bali ada tiga jenis yaitu Bahasa Jawa Kuna (Kawi Bali), Bahasa Jawa Tengahan, Bahasa Bali. Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalambahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atauHanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islampada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi(kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana,Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Sastra Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno
Sastra Jawa
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis sepertiSerat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali. Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkanaksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Sastra Melayu
Sastra Melayu Klasik bermula pada abad ke-16 Masehi. Semenjak itu sampai sekarang gaya bahasanya tidak banyak berubah Dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja TernateSultan Abu Hayat kepada rajaJoão III di Portugal dan bertarikhkan tahun 1521 Masehi.


v  Gurindam
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
contoh :
Pabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang
Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat
v  Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
v  Karmina
Karmina atau dikenal dengan nama pantun kilat adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedia adalah isi. Memiliki pola sajak lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan secara langsung.
Contoh :          Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu masih bertanya pula
v  Pantun
Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna); dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Contoh Pantun :          Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang


v  Seloka
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair, terkadang dapat juga ditemui seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
contoh seloka 4 baris:              Sudah bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
v  Syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud)
v  Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Contoh Talibun :         Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu

Sastra Minangkabau adalah sastra yang hidup dan dipelihara dalam masyarakat Minangkabau, baik lisan maupun tulisan. Adapun sastra lisan yang masih hidup dalam masyarakat Minangkabau adalah jenis kaba dan dendang

Dilihat dari sudut pandang budaya, sudah pasti khazanah itu penting dikaji dan diapreasikan secara luas ke tengah masyarakat. Ia penting sebagai sumber  ilham kreativitas kita dan cermin untuk mengenal diri dan jatidiri budaya bangsa. Karya-karya klasik itu, sebagaimana karya-karya modern yang awal, perlu dibaca oleh pengarang atau penyair masa kini untuk merangsang kreativitas dan mengembangkan wawasan baru yang lebih berpijak dalam jiwa kebudayaan bangsanya. Jika dalam kehidupan sehari-jari jejak budaya bangsa kita itu sudah  luntur, mau tidak mau kita harus melihat kepada teks, dan bukan semata-mata melihat konteks. Melihat konteks semata-mata akan menyebabkan kita pergi jauh ke luar diri kita. Karena ketika kita melihat konteks, kita perlu melihat teks,  sebab hanya teks yang mampu membawa kita melihat ke dalam diri kita.
Karya-karya lama Nusantara sebenarnya memiliki sumber-sumber yang kaya untuk ilham bagi pembaruan. Kita dapat mengatakan bahwa beberapa pembaru seperti Chairil Anwar berhasil tanpa mempelajari khazanah sastra tradisi bangsanya, tetapi pernyataan itu lemah sekali. Jika kita baca dengan seksama dan membandingkan dengan puisi-puisi Pujangga Baru, kita akan melihat bahwa sajak-sajaknya yang revolusioner itu dibayangi oleh sajak-sajak Amir Hamzah yang romantik sufistik. Dalam sejarah sastra dunia, kita  temukan pula pengarang-pengarang besar yang mendapatkan sumber ilham bagi pembaruannya dari tradisi besar kreativitas bangsanya atau khazanah sastra klasik dan tradisi estetika yang telah lama berkembang di negeri mereka.
B. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Sastra Nusantara
Benturan nilai dan relativitas budaya Individu dan kelompok masyarakat biasanya menganut nilai sendiri-sendiri. Bila terjadi pertemuan di antaranya dan satu dengan yang lain nampak tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh yang lain maka ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural bukan semata-mata bersifat subjektif atau pribadi tetapi menjadi bersifat intersubjektif. Individu sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu tindakan adalah makna yang ditanggapi pada asumsi-asumsi tindakan dalam konteks relativisme etis dan absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, atas relativitas tersebut yang mutlak adalah kebenaran Tuhan).
Dalam budaya tertentu orang mungkin harus mengagungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi semangat rakyat, tetapi dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin dianggap sombong atau bahkan dilarang (Adeney, 1995: 16-17). Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai kulturalnya, ada pemahaman yang tidak selalu sama antara yang dianggap baik di pihak yang satu yang berbeda dengan penilaian pihak lain. Hal yang menjadikan masing-masing orang atau kelompok orang berbeda-beda dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena orientasi nilai masing-masing mereka yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan orientasi budaya inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena itu perlu masing-masing orang atau kelompok orang menyadari perbedaan orientasi nilai budaya ini. Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budaya ini dapat saling memahami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan dialog.
Tentang orientasi nilai budaya secara lengkap dapat dilihat pada model kuantum individu, sosial, dan kosmos (Adeney, 2000:377-379). Data dimaksud dipakai sebagai upaya memahami aneka pemahaman dan konsentrasi tiap inidvidu atau kelompok pada orientasi budaya tertentu. Jelas disini bahwa orientasi yang berbeda antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain akan menyebabkan bagaimana mereka menHai sesuai juga akan berbeda. Dalam konteks kearifan lokal, penjelasan ini memungkinkan akan adanya spesifikasi dari masing-masing budaya lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.
Ø  Pemertahanan Nilai-nilai Budaya Lokal
Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia, melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya diklaim sebagai hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang unik yang memanfatkan simbol, tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah dengan hal-hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia baik individu atau kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa, dan karsa masing-masing.
Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Pada tahun 60-an komite Amerika mengenai bahasa dan budaya mengungkapkan hubungan antara bahasa dan budaya.
Hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Bahasa adalah bagian dari budaya, dan harus didekati dengan sikap yang sama membimbing pendekatan kita lepada budaya sebagai satu keseluruhan.
2) Bahasa adalah wahana budaya, maka oleh karenanya guru bahasa juga harus sekaligus guru budaya.
3) Bahasa itu sendiri merupakan subjek bagi sikap dan kepercayaan terkondisi secara kultural, yang tidak dapat diabaikan di dalam kelas bahasa (Bishop dalam Tarigan, 1991: 56).
Dari pendapat Bishop di atas terlihat bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa sebagai subsistem komunikasi adalah suatu bagian dari sistem kebudayaan, bahkan merupakan bagian terpenting dari kebudayaan. Pemelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Di negara kita, pemelajaran sastra belum berdiri sendiri, tetapi masih menjadi bagian integratif dari pelajaran bahasa. Terkadang pula pemelajaran sastra hanya menempati porsi yang sedikit dari pemelajaran bahasa. Seharusnya pemelajaran sastra harus mendapatkan porsi yang seimbang dengan pemelajaran bahasa.
Pemelajaran sastra diharapkan akan menjadikan anak didik menjadi manusia yang memiliki identitas kebangsaan. Tetapi, kini anak usia sekolah pada umumnya senang dengan budaya asing. Hal ini harus menjadikan para pendidik waspada, karena lama kelamaan akan menjauhkan anak-anak dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercerabut dari budaya nenek moyangnya sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa. Dalam hal ini perlu dicegah kebudayaan asing yang negatif. Bahasa dan sastra daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan identitas keindonesiaan kita.
Anak usia sekolah cenderung menyalahartikan globalisasi dengan mengonsumsi produk barat dan menelannya mentah-mentah. Padahal budaya global banyak yang menyimpang dari etika orang Indonesia. Anak-anak kita justru lupa akan budaya tradisionalnya sendiri. Banyak kebudayaan tradisional yang tidak lagi dikenal oleh anak-anak kita, karena mereka lebih menyukai kebudayaan barat yang terkenal dan populer. Perbaikan keadaan budaya bangsa adalah tanggung jawab bersama, baik keluarga, sekolah, pranata sosial, maupun masyarakatnya. Salah satu upayanya adalah memberikan arahan sejak anak-anak. Misalnya, memperkenalkan budayanya sendiri sejak dini. Di sekolah, usaha ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur budaya daerah ke dalam mata pelajaran, salah satunya adalah ke dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Sehubungan dengan pengertian kebudayaan, dalam buku ” Primitive Culture” karangan E.B. Taylor yang pertama kali terbit tahun 1871, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Suriasumantri, 1996: 261). Kemudian Kuntjaraningrat (1974: 12) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sietem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Dalam hal ini, kebudayaan merupakan garis pemisah antara manusia dan binatang. Manusialah yang harus membentuk kebudayaan, bukan kebudayaan yang membentuk manusia. Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh dan digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Fungsi utama kebudayaan adalah untuk menyebarkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Era global yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga seakan-akan dunia merupakan sebuat perkampungan global tanpa sekat dan batas yang jelas. Era global tersebut telah memberikan kesempatan kepada dunia dan manusia yang hidup di dalamnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dari berbagai ujung dunia yang berbeda, tanpa hambatan ruang dan waktu. akibat dari gelala tersebut dikhawatirkan justru kebudayaan dari luarlah yang membentuk anak didik, karena mereka umumnya masih belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka budaya yang datangnya dari barat itu baik adanya. Padalah tidak semua yang datangya dari barat itu baik, justru sebaliknya banyak pula budaya yang kurang baik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa kita. Sifat individual, sikap permisif terhadap seks merupakan contoh budaya yang datangnya dari luar yang tentunya tidak sesuai dengan budaya bangsa kita.
Salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada anak didik kita. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Memperkenalkan cerita rakyat dalam bentuk mendongeng sebelum tidur misalnya merupakan budaya bangsa kita dahulu, yang pada masa kini sudah mulai meluntur seiring berkembangnya zaman. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak hanya digunakan untuk memahami dunia dan mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya.
Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya. Ibarat kata pepatah ”menggapai burung terbang sementara punai di tangan dilepaskan”. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal misalnya cerita (dongeng) rakyat, ritual kedaerahan, tradisi kedaerahan, kreativitas (tari, lagu, drama, dll.), dan keunikan masyarakat setempat.
Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local genius) dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005). Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Menurut John Haba ( 2008:7-8) kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai penanda identitas sebuah komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial; (3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4) berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground; (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu. Masalahnya kearifan lokal tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru terkadang mengabaikan aset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif.
Nurgiyantoro (1995: 164) menegaskan bahwa cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak saja digunakan untuk memahami dunia dan mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya.
Dalam era otonomi daerah sudah selayaknya dan memang seharusnya budaya lokal diperkenalkan kepada anak-anak kita. Bahkan dalam penyusunan kurikulum di tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah pun sudah selayaknya mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa kita. Tontonan dan tayangan yang menunjukkan keragaman budaya dan bahasa di nusantara teramat jarang. Seharusnya tontonan keragaman budaya nusantara disajikan sesering mungkin pada anak-anak generasi penerus bangsa Indonesia, agar mereka tahu produk media televisi juga menceritakan tentang tanah airnya. Selama ini anak-anak lebih Indonesia akrab dengan ”Tom And Jerry” , ”Naruto”, ”Dora” , ”Mickey Mouse”dan lain-lain, mana cerita anak yang berlatar belakang budaya daerah yang ada di Indonesia? Mana produk bangsa ini yang bisa memperkaya generasi muda dan meluaskan wawasan mereka terhadap multikultur dan kemajemukan budaya bangsa? Tanpa sadar, kita telah dimiskinkan oleh aneka tontonan dan tayangan yang mencerminkan budaya orang lain.
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik melisankan melaui tulisan sastra. Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca (Semi, 1993:1). Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pemelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal. Salah satu genre sastra adalah prosa. Cerita rakyat (folklor) merupakan salah satu jenis prosa.
Cerita rakyat sebagai salah satu budaya lokal sudah sepantasnya mulai dijadikan sebagai bahan pemelajaran sastra di sekolah. Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat terhadap anak didik diyakini akan melekat sampai dewasa. Hal ini berkaitan dengan salah satu manfaat pemelajaran sastra yaitu membentuk watak peserta didik. Karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra terkandung nilai-nilai yang positif bagi pembaca dan berguna bagi masyarakat secara luas. Sastra dapat menyampaikan amanat dan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai pendidikan kepada pembaca. Pesan moral dalan sastra sejatinya esensi yang harus ditemukan oleh pembaca atau penikmat sastra. Pesan moral dalam karya sastra merupakan hal terpenting dalam sastra sebagai bahan kontemplasi pembaca dalam merajut nilai-nilai hidup dan melakoni kehidupan yang lebih baik. Misalnya, cerita rakyat ”Dampu Awang” di daerah Banten yang berlatar gunung Kramat Watu memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Bagaimana seorang anak harus bersikap hormat pada orang tua. Jangan sampai lupa kepada orang tua walaupun sudah hidup sukses. Dari jalan ceritanya agak mirip dengan cerita rakyat yang sudah lebih dulu terkenal dari daerah Minangkabau, yaitu Malin Kundang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NAMA BANTARA SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015

BANTARA  SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015 Azmi Zukhruf . F Agung Saepudin Deden Darmawan Ika Irawan ...