MATERI SASTRA DAN KEARIFAN LOKAL
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat Sastra
Sastra
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah
kata pustaka yang secara luas
berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).
Sumardjo
& Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia
yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam
suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan,
semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai
kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman
yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi
saksi dan pengomentar kehidupan manusia.
2.1.1 Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra
terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a) Prosa, bentuk
sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh
aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk
sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta
indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu
:
1)
Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
2)
Jumlah suku kata atau kata dalam
tiap-tiap kalimat atau barisnya,
3)
Irama, dan
4)
Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris,
bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang
bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu
bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang,
serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian,
yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri
atas 4 macam, yaitu :
a) Epik,
karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan
perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik,
karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif,
karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral,
tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik,
karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan
pelukisan yang berlebih-lebihan.
3. Dilihat dari sejarahnya, sastra
terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a) Kesusastraan
Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam
sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi:
1) Kesusastraan
zaman purba,
2) Kesusastraan
zaman Hindu Budha,
3) Kesusastraan
zaman Islam, dan
4) Kesusastraan
zaman Arab – Melayu.
b) Kesusastraan
Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
1) Hikayat
Abdullah
2) Syair
Singapura Dimakan Api
3) Kisah
Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
4) Syair
Abdul Muluk, dll.
c) Kesusastraan
Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia.
Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
1) Balai
Pustaka / Angkatan ‘20
2) Pujangga
Baru / Angkatan ‘30
3) Jepang
4) Angkatan
‘45
5) Angkatan
‘66
6) Mutakhir
/ Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang
2.2 Kaidah-Kaidah Sastra
Waluyo,
(1994:56-58) mengatakan bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat
pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya
terletak pada unsur ceritanya yakni cerita dari tokoh-tokoh yang diceritakan
sepanjang cerita. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam
menciptakan daya pikat. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang
membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan,yaitu kreativitas,
tegangan, konflik, dan jarak.Uraian keempatnya, bagaimana dikutip dari Waluyo
(1994:58-60) .
1.
Kreativitas
Tanpa
kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin menempati
perhatian pembaca. Kreativitas ditandai dengan adanya penemuan baru dalam
proses penceritaan. Pengarang biasanya menunjukkan daya kreativitas yang
membedakan karyanya dengan karya yang mendahului. Dalam sejarah sastra
Indonesia para pembaharu sastra Indonesia yang menunjukkan daya kreativitas
mereka seperti Marah Rusli ( Siti Nurbaya), Abdul Muis ( Salah Asuhan), Sutan
Takdir Alisyahbana ( Layar Terkembang), Armijn Pane ( Belenggu), Achdiat
Kartamiharja (Atheis), Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung), dan sebagainya.
Penemuan
– penemuan hal yang baru itu mungkin melalui peniruan terhadap karya yang sudah
ada dengan jalan memperbaharui, namun mungkin juga melalui pencarian secara
modern untuk menemukan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya mengulang apa yang
sudah diungkapkan oleh pengarang lain.
2.
Tegangan ( Suspense )
Jalinan
cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dari pembaca merupakan
tegangan cerita. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita yang berlanjut,
yang mendebarkan pembaca atau pendengar cerita. Tegangan diakibatkan oleh
kemahiran pencerita didalam merangkai kisah dan pencerita mampu mempermainkan
hasrat ingin tahu pembaca. Terkadang segenap pemikiran dan perasaan pembaca
terkonsentrasi ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan ynag dirangkai oleh
penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu pembaca , penulis memberikan
jawaban-jawaban yang mengejutkan. Pengarang – pengarang cerita besar seperti
Agata Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya mampu
menciptakan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga ceritanya
memiliki suspense yang memikat.
3.
Konflik
Konflik
yang dibangun dalam sebuah cerita harus bersifat wajar dan kuat. Konflik yang
wajar artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini
dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai posisi yang kurang
lebih seimbang. Jika posisinya tidak seimbang, maka konflik menjadi tidak wajar
karena pembaca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya. Konflik itu juga
harus kuat.
Dalam
kisah kehidupan sehari-hari, konflik yang kuat biasanya berkaitan dengan
problem manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Roman
Salah Asuhan dan Belenggu memiliki konflik yang begitu kuat karena problem yang
menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan. Hal ini berbeda
dengan konflik yang dibangun melalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam
putih,maka konflik dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya.
4.
Jarak Estetika
Daya
pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat pengarang memiliki jarak estetika
yang cukup pekat dengan cerita dan tokoh-tokoh cerita itu. seolah – olah
pengarang menguasai benar dunia dari tokoh cerita itu, sehingga pengarang ikut
terlibat dalam diri tokoh dan ceritanya. Jika keadaan ini dapat dilakukan
pengarang ,pembaca akan lebih yakin akan hadirnya cerita dan tokoh. Seakan-akan
cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan saja.
Seperti
halnya dalamcerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut terlibat dalam
peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika adegan terakhir Mushashi
mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin akan merasa menyaksikan dua ksatria
bertempur di tepi Parangtritis, di siang hari ketika matahari terik, dan
tiba-tiba Mushashi melompat menghantam kepala Kojiro dengan pedang. Ini dpat
terjadi karena kekuatan cerita yang pengarang ciptakan dengan membuat jarak
estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.
2.3 Wilayah Studi Sastra
Yang
merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra, dan
kritik sastra ( Wellek dan Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35). Pengertian
ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Pradopo (2002) dan
Fananie (2000) berikut ini.
1. Teori
sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan ,
seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana unsur-unsur atau
lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre), yaitu apakah jenis
sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan
kriteria untuk membedakan jenis sastra dan sebagainya (Pradopo, 2002:34).
Perihal unsur-unsur atau
lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni
menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi
aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsik sastra berhubungan erat
dengan bahasa sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan
aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi
aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya
(Fananie, 2000: 17-18).
2. Sejarah
sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia
modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis sastra, membicarakan
periode-periode sastra, dan sebagainya. Pokoknya semua pembicaraan yang
berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk,
pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode
ke periode (Pradopo,2002:34).
Dikemukakan oleh
Fananie (2000;19-20) bahwa berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra
dibedakan menjadi :
a. Sejarah
genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-karya sastra seperti
puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre seperti
pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut dititik beratkan pada
proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya.
b. Sejarah
sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji karya-karya sastra
berdasarkan periodisasi atau babakan waktu tertentu. Di Indonesia penulisan
sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi periodisasi tahun 20-an,
yang melahirkan angkatan Balai Pustaka, tahun 30-an yang melahirkan angkatan
Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun 45, tahun 60-an yang melahirkan
Angkatan 66 dan sastra mutakhir atau kontemporer.
c. Sejarah
sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan
beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan masa kini. Bandingan
tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara seperti sastra Eropa
dengan sastra Indonesia,Melayu, dan sebagainya. Aspek-aspek yang dibandingkan
dapat meliputi beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek, yaitu :
1) Comparative literature : The study of
oral literature expecially of falle talk
themes and then imigration, of how and other they have entered higher artistic. (
Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra cerita rakyat dan cerita
kepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra rakyat tersebut berkembang/
masuk pada bagian yang lebih tinggi pada keindahan sastra itu yang bersifat
aristik).
2) The study of relationship betwen two or
more literature.(Hubungan kajian antara dua atau beberapa karya
sastra).
3) The study of literature in its totality. (Kajian
sastra secara keseluruhan).
3.
Kritik Sastra ialah studi sastra yang
berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung, menganalisis,
menginterpretasi, memberi komentar, dan memberikan penilaian
(Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik
sastra itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau
kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu
hasil dari kritik sastra biasanya mencakup dua hal , yaitu baik danburuk
(goodness atau dislikeness) (2000:20).
2.4 Wilayah Kesusastraan
Kesusastraan
dibagi menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah kesusastraan itu adalah :
1. Wilayah
penciptaan sastra
2. Wilayah
penikmatan sastra
3. Wilayah penelitian
sastra
Dikemukakan
oleh Mursal Esten (1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan
kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu. “Wilayah penciptaaan
kesusastraan adalah wilayah para sastrawan , yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang
baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang
baik dan bermutu. Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus.
Mereka
berusaha menjelaskan, menafsirkan, dan memberikan penilaian terhadap
ciptasastra-ciptasastra. Tentu saja mereka harus melengkapi diri mereka dengan
segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra yang
mereka hadapi. Wilayah para penikmat ialah wilayah para pembaca. Wilayah ini
tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya
ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.”
2.5
Sastra Nusantara
2.5.1
Pengertian Sastra Menurut Para Ahli
·
Istilah Nusantara pertama kali dipakai
oleh kerajaan Majapahit untuk menyebut daerah-daerah kekuasaannya.
·
Kata Nusantara sendiri merujuk pada
periode khusus ketika Indonesia dikuasai oleh Majapahit, khususnya ketika
kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. Majapahit
adalah negara kesatuan Indonesia di masa silam (Vlekke, 1958 : 15).
·
Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa
ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang
membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita
masyarakatnya (Hamidy, 1994 : 7).
·
Sastra Nusantara tidak berdiri sendiri, ia
terbentuk dari sinkretis antar daerah-daerah di wilayah nusantara.
·
Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris
(2001 : 151) bahwa dalam Sastra Nusantara terdapat sastra Jawa, sastra Sunda,
sastra Bali, sastra lombok, dan sastra Madura seperti Babad Tanah Jawi, Babad
Blambangan, Cerita Dipati Ukur, Sejarah Suka Pura, Babad Buleleng, Babad
Lombok, dan Babad Madura.
·
Bahasa tanpa sastra bagaikan jasat tanpa
ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang
membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita
masyarakatnya (Hamidy, 1994 : 7).
·
Sastra Nusantara juga biasa disebut
sebagai sastra daerah. Sastra daerah merupakan bagian dari sastra nusantara
yang mewakili kemajemukan daerah yang ada di Indonesia. Karya sastra daerah
berkembang di daerah dan diungkapkan dengan menggunakan bahasa daerah. Sastra
daerah juga mempunyai kedudukan di tengah masyarakat. Sastra merupakan salah
satu jenis kesenian selain seni musik, seni rupa, seni patung, seni menggambar,
dan seni pertunjukan (Koentjaraningrat, 2005 : 20).
·
Sastra Daerah adalah ciptaan masyarakat
pada masa lampau atau mendahului penciptaan sastra Indonesia moderen.
·
Sastra daerah dapat dimasukkan sebagai
satu aspek budaya Indonesia yang memperkaya budaya nasional dan menjadi
alternatif kedua yang perlu dipertimbangkan dan dikembangkan selain sastra
Indonesia (Tuloli, 2001 : 209).
2.6 Pengaruh Sastra Nusantara terhadap
Sastra Modern dan Kontemporer
a. Puisi dan
Dekonstruksi
Sastra
nusantara memberikan inspirasi baru bagi penyair modern kontemporer antara
lain, Sutardji Calzoum Bachri. Upaya dan perjuangan Sutardji menerobos makna
kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa
dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia
secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru
yang lebih otentik melalui puisi.
Menurut
Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi,
dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang
membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Bagi
Sutardji, menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan
kata pada mantra adalah mengeluarkan kata dari konveksi makna dan membiarkannya
menemukan kekuatannya sendiri. Pada dasarnya, kata tidak ada hubungan intrinsik
dengan maknanya – suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teori
teoretisi post-modernis – diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran
dalam pantun tidak ada hubungan intrinsik apapun dengan isi puisi. Adalah
menarik bahwa perlawanan yang dilancarkan tidak dilakukan dengan berteori,
tetapi laksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
b. Prosa dan
Dekonstruksi
Dekonstruksi
teks adalah sebuah konstruksi baru, hasil dari sebuah reinterpretasi terhadap
teks yang ada.
Cerpen
Putu Wijaya yang sudah terbit tidak dibiarkan berhenti dengan titik tetapi lalu
dilanjutkannya sehingga alur cerita mengalir sesuai kehendak Putu Wijaya. Yang
dilakukan bukan hanya melakukan kilatan (alussion), yakni menyinggung karya
Putu Wijaya dalam karyanya tetapi benar-benar masuk dalam karya itu dan
kemudian mencoba mengulurnya serta menyeretnya ke arah lain.
Mendekonstruksi
dongeng yang ada menjadi , sebuah dogeng yang baru yang diupayakan untuk tidak
merusak citra tokoh-tokoh dalam dongeng aslinya. Kita tahu, sejumlah bedaya
menganggap sebuah dongeng adalah sebuah catatan sejarah, sebuah fakta historis
sehingga dilakukan sejumlah aktivitas historis terhadap tokoh-tokoh dalam
dongeng tersebut.
PEMBAHASAN
1.1 Kearifan
Lokal
Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia
yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu
melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain.
Nilai-nilaitersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai
itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut. Ilmuwan antropologi, seperti Koentjaraningrat, Spradley,
Taylor, dan Suparlan, telah mengkategorisasikan kebudayaan manusia yang menjadi
wadah kearifan lokal itu kepada idea, aktivitas sosial, artifak.
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh
sekelompok manusia dan dijadikan sebagai pedoman hidup untuk
menginterpretasikan lingkungannya dalam bentuk tindakan-tindakannya
sehari-hari. Negara Indonesia sangat majemuk dan mempunyai petatah-petitih
Melayu, bahasa kromo inggil Jawa, petuah yang diperoleh dari berbagai suku di
Indonesia.
1.
Hakikat
Kearifan Lokal
Menurut asal kata, kearifan lokal terbentuk dari dua kata, yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris
Indonesia John M. Echlos dan Hassan Shadily, localberarti
‘setempat’ sedangkan wisdom adalah ‘kebijaksanaan’. Jadi local
wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersikap
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
Berikut
ada beberapa pandangan mengenai kearifan lokal :
1.
S. Swarsi menyatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai,
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
2.
Phongphit dan Nantasuwan menyatakan kearifan lokal sebagai
pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masyarakat turun temurun antargenerasi.
3.
I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal adalah
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
4.
H. Q. Wales menjelaskan bahwa kearifan lokal berarti kemampuan
budaya setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua
kebudayaan itu berhubungan.
5.
Haryati Soebadio mengatakan bahwa kearifan lokal adalah juga cultural
identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri.
6.
UU No.32 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang kearifan lokal
yaitu nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara
lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan komunitas tersebut.
2.
Wujud
Kearifan Lokal
Bentuk-bentuk
Kearifan Lokal Haryanto ( 2014:212) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal
adalah Kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu
kearifan dari budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat
berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan
aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi Cinta
kepada Tuhan, alam semesta beserta isinya,Tanggung jawab, disiplin, dan
mandiri, Jujur, Hormat dan santun, Kasih sayang dan peduli, Percaya diri,
kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan
rendah hati,Toleransi,cinta damai, dan persatuan.
Bentuk
kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek yaitu kearifan lokal yang
berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible):
a. Kearifan
Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk
kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut: tekstual
beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus
yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam
kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran
daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan
(naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang
digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat
dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis
pisau.
Seiring
dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari fungsi awalnya,
yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi
semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemukakan dalam keberadaan prasi
masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari
bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan
rumah rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan
oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat.
Benda
Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni) Banyak benda-benda cagar budaya yang
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan
salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini
keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta dalam
menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai
kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau
UNESCO Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai
karya agung warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia.
Ilustrasi
lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni
tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak
lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai
makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut
bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu,
seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya
yang melekat pada kehidupan masyarakat.
b.Kearifan Lokal
yang Tidak Berwujud (Intangible)
Bentuk
kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak
berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang
dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran
tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud
lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
3.
Fungsi Kearifan Lokal
Dalam dunia pendidikan di
Indonesia, salah satu kearifan lokal adalah ungkapan Ki Hajar Dewantara yang
sangat terkenal, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut
Wuri Handayani” yang bermakna fungsi pendidik sebagai teladan, dinamisator,
dan motivator (Suryadi, 2009: 57). Ungkapan ini sejalan dengan ungkapan yang
ada pada etnis Bugis mengatakan “Rioloi Napatiroang, Ritengngai
Naparaga-raga, Rimonrii Napaampiri” yang dapat diartikan: ia menjadi
teladan jika berada di depan kita, ia akan menjadi dinamisator jika berada
ditengah bersama kita, ia menjadi motivator jika ia berada di belakang kita.
Kearifan
lokal memiliki banyak fungsi, seperti yang telah dikemukan oleh Sartini (2004:
113), yaitu: (1) berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam;
(2) berfungsi untuk pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia; (3)
berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) berfungsi
sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial,
misalnya pada upacara integrasi komunal/kerabat dan upacara daur pertanian; (6)
bermakna etika dan moral; serta (7) bermakna politik.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai
manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan
karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan
hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati
di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal
tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk
memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal
mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara
berkelanjutan.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah sebagai berikut, (Ayat, 1986:40-41):
- Sebagai
filter dan pengendali terhadap budaya luar.
- Mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar.
- Mengintegrasikan
unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
- Memberi
arah pada perkembangan budaya
4.
Makna dalam Kearifan Lokal
Kearifan
lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus
digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan
sosial budaya dan modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang
runtut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal
tapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal
terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas.
Kearifan
lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan
untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan
situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi
bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan
hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Multikultural
Raymond Williams
menyatakan bahwa istilah “culture” merupakan salah satu istilah yang paling
sulit didefinisikan dalam kamus bahasa Inggris. Selain itu multikulturalisme
juga merujuk pada kemajemukan budaya dan akhirnya multikulturalisme juga
mengacu pada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut. Lawrence Blum
menawarkan definisi sebagai berikut: “Multikulturalisme meliputi sebuah
pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain.Multikulturalisme
meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti
menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat
bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi
anggota-anggotanya sendiri”. Menurut Muslikhah “Multikulturalisme merupakan
suatu paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak
kebudayaan”. Sedangkan menurut Zukiyudin Baidhawy “Multikulturalisme adalah
orang-orang yang hidup berdampingan yang satu dengan lainnya”.
Multikulturalisme
sendiri dimaknai sebagai hadirnya sejumlah masyarakat dan kebudayaan yang
berdampingan, meraka saling terjalin suatu interaksi dan dalam interaksi
tersebut dikembangkan suatu pemahaman satu sama lain untuk dapat saling
menghargai, bertoleransi, rukun dan menghargai. Multikulturalisme bukan
merupakan cara pandang yang menyamakan kebenaran-kebenaran lokal, melainkan
justru mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat
membangunsikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan
kebudayaan dan mempertahankan identitas budaya mereka.
Jenis-jenis Multikulturalisme
1. Multikulturalisme
Isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok
budaya yang berbeda, menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam
saling-interaksi minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup bersama.
2. Multikulturalisme
Akomotadif: mengacu pada visi masyarakat yang bertumpu pada satu kebudayaan
dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan
budaya minoritas.
3. Multikulturalisme
Mandiri: mengacu pada visi masyarakat di mana kelompok-kelompok budaya besar
mencari kesetaraan dengan budaya-budaya dominan dan bertujuan menempuh hidup
mandiri dalam satu kerangka politik kolektif yang dapat diterima.
4. Multikulturalisme Kritis
atau Interaktif: merujuk pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok
kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam
menciptakan suatu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif
mereka yang berbeda-beda.
5. Multikulturalisme
Kosmopolitan: mengacu oada visi masyarakat yang berusaha menerobos
ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi para individu yang kini tidak
terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat dalam eksperimen-eksperimen
antarkultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.
B.
Sejarah Multikulturalisme
Sejarah
multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Canada, Australia
adalah sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori
mulikulturalisme dan pendidikan multikultural, karena mereka adalah masyarakat imigran
dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di
dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang
berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun
identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur
mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyang tanah asalnya.
Dalam sejarahnya menurut
Melani Budinata, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwawancarakan oleh J.Hector seorang imigran
asal Normandia. Dalam teorinya Hector menekankan penyatuan budaya dan
melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu
budaya baru yakni Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih
diwarnai oleh White Anglo Saxon
Protestant (WASP) bagai kultur imigran kulit putih berasal dari Eropa. Ketika komposisi etnis Amerika kian beragam
dan budaya mereka kian majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan
muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowe. Teori ini sebagai teori
alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen.
Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru
yang dibangun dalam keragaman, Teori salad
bowl atau teori goda-gado tidak menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya
kultur-kultur lain di luar diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan
kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada
akhirnya, interaksi kultural antara berbagai etnis tetap memerlukan ruang gerak
yang leluasa, sehingga dikembangkan teori gerak yang pluralis, yang membagi
ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnis
mengarikulasikan budaya politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam
sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga mempunyai ruang private
yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitas secara leluasa.
Multikulturalisme secara
etimologis marak di gunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford
Dictionary istilah ’multiculturalism’merupakan
deviasi dari kata ’multicultural’dengan menyetir kalimat dari surat kabar
Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai
masyarakat ’multicultural’dan ’multi-lingual’. (Muheamin el-Ma’hady, 2004: 4)
Namun secara gerakan, sekitar tahun 1970-an multikutarlisme muncul pertama kali
di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan
lainnya. (Mun’im A. Sirry, 2002: 1)
Sedangkan menurut
Tilaar, pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran
tetang ’interkulturalisme’ seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan
kesadaran ’interkulturalisme’ ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, juga karena
meningkatnya pluralitas di negara-negara baru merdeka bermigrasi Amerika dan
Eropa. (Hero Nugroho: 2008)
Di negara-negara bekas
jajahan muncullah gerakan yang dapat kita sebut poskolonialisme yang melihat
keburukan dari praktik-praktik kolonial yang membedakan harkat manusia. Ada
bangsa penjajah, bangsa super, dan bangsa dijajah atau yang didominasi oleh
bangsa lain. Termasuk dalam pandangan ini adalah supremasi kulit putih dan
supremasi kebudayaan Barat. Timbul reaksi biner ini seperti munculnya gerakan
orientalisme dan gerakan–gerakan poskolonialisme lainnya. Di negara-negara maju
termasuk bekas-bekas penjajah maupun negara-negara demokrasi seperti Amerika
Serikat, terdapat tentangan terhadap praktik-praktik kehidupan demokratis. Di
Amerika Serikat, kita kenal mengenai rasisme yang melahirkan manusia seperti
Martin Luther King dan gerakan-gerakan menghapuskan rasisme dalam praktik
kehidupan. Pemikiran-pemikiran ini merembas ke dalam dunia pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan
multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang di anggap
lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa
otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang
dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan
sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Indonesia sendiri, telah
menyadari tentang kemajemukan ragam etnik dan budaya masyarakatnya.
Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara
yang memiliki keragaman etnik tetapi memiliki tujuan
yang sama, yakni sama-sama menuju masyarakat adil makmur dan sejahtera. Akan tetapi, gagasan besar
tersebut kemudian tenggelam dalam sejarah dengan politik mono-kulturnya di
zaman Soekarno dan Soeharto.
Demokrasi terpimpin yang diusung
Soekarno telah mematikan kreativitas-kreativitas lokal daerah yang berbasis etnik dan
budaya tertentu. Demikian pula dengan manajemen pemerintahan yang sentralistik
zaman Soeharto, sehingga falsafat Bhinneka Tunggal Ika, kemudian hanya
menjadi slogan tetapi tidak pernah mewujud dalam teori ketata negaraan,
hubungan sosial maupun pranata sosial
lainnya.
Ketika simpul-simpul
yang mengikat demokratisasi itu dibuka dan dilepas zaman reformasi, maka
gagasan multikulturalisme kini
mengemuka, dan langsung memasuki wilayah pendidikan, yang seharusnya
teori-teori multikulturalismenya itu dirumuskan terlebih dahulu oleh para ahli
bidang ilmu-ilmu sosial politik. Dengan demikian, Indonesia tidak akan memiliki
pretensi untuk kembali pada teori melting pot atau salad bowl. Indonesia, sebagaimana
dikuatkan oleh para ahli yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan
multietnik, justru menjadikan multikulturalisme sebagai common platform dalam mendesain pembelajaran yang berbasis Bhinneka Tunggal Ika, bahkan nilai-nilai
tersebut diupayakan melalui mata pelajaran kewarganegaraan dan didukung pula
oleh pendidikan agama.
C.
Pendidikan Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah “konsep pembudayaan, dan oleh karena proses pendidikan adalah
proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural dapat diciptakan melalui proses pendidikan” (HAR Tilaar, 2004). Pendidikan dan pembudayaan merupakan suatu proses pembentukan karakter bangsa dan warga negara. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Tobroni dan kawan-kawan dalam bukunya Pendidikan Kewarganegaraan (2007) menyatakan bahwa Pendidikan multikultural dapat dilihat dalam tiga hal yaitu: 1) Pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau idea, 2) pendidikan mutikultural sebagai suatu gerakan
dan
3) pendidikan multikultural sebagai sebuah proses. Oleh karenanya pendidikan multikultural memerlukan pengkajian yang mendalam, pengisian dan pengayaan konsep yang sempurna, dan penerapan yang cermat .
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku
bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, budaya, agama dan golongan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional juga harus mengakomodasi kemajemukan dan keragaman budaya tersebut. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh seberapa besar kepedulian pendidikan terhadap masalah pluralism (kemajemukan) dan multikulturalisme (keragaman budaya, agama dan kesederajatan) ini. Hal ini
disebabkan karena pendidikan merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu (Zamroni, 2001). Di sisi
lain
pendidikan juga memiliki peran sebagai culture heritage, yaitu sebagai pewarisan kebudayaan
kepada generasi muda. Oleh karena itu, generasi tua harus dapat mewariskan sesuatu yang baik terhadap generasi berikutnya.
Pendidikan Nasional pada masa yang lalu, belum banyak mengadopsi kemajemukan dan keberagaman budaya. Pendidikan saat itu tidak dirancang dan bukan dalam kapasitas untuk mengantisipasi dan menanggulangi masalah yang disebabkan oleh
perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, perbedaan golongan, dan kesalahpahaman antarbudaya atau benturan antar golongan
dan
kepentingan. Sekalipun belum ada mata pelajaran pendidikan multikultural, atau pendidikan
multikultural tidak tersurat dalam kurikulum sekolah, namun pendidikan dapat mengakomodasikan
multikulturalisme dalam kurikulum atau mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam mata
pelajaran yang sesuai seperti PKN, dan mata pelajaran IPS.
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
4 mulai butir (1) sampai dengan butir (6) menunjukkan bahwa multikulturalisme menjadi landasan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, menyelenggarakan Pendidikan
Multikultural menjadi kewajiban sekolah sesuai dengan bunyi Pasal 4 butir (1) bahwa: “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Pasal 36 butir (3) berbunyi bahwa: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1.
Peningkatan iman dan takwa;
2.
Peningkatan akhlak mulia;
3.
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4.
Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5.
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6.
Tuntutan dunia kerja;
7.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8.
Agama;
9.
Dinamika perkembangan global; dan
10. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal tersebut, pemerintah Indonesia memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis multikulturalisme yaitu pendidikan multikultural. Pendidikan nasional memberikan landasan bahwa dalam menyelenggarakan
pendidikan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bagsa. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di negeri kita harus membawa pesan
dan
berlandaskan pendidikan multikultural.
Lebih lanjut dijelaskan melalui Pasal 36 butir (3), bahwa kurikulum disusun dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Lingkup bahasan harus menjangkau
dinamika perkembangan global yang mengantisipasi masalah- masalah keduniaan. Ini membuktikan
bahwa pendidikan multikultural mendapatkan tempat yang seharusnya dalam kurikulum sekolah.
Sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesuai dengan kebutuhan, lingkungan dan kondisi sekolah. Sekolah dapat mengintegrasikan
pendidikan multikultural ke dalam mata pelajaran di sekolah terutama mata pelajaran PKN dan IPS,
bahasa dan sebagainya.
Menurut Undang-undang No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan memiliki fungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertnggung
jawab”. Tuntutan fungsi pendidikan itu menghendaki warga negara yang memiliki watak, dan
berakhlak mulia, yang demokratis dan mertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan multikultural
merupakan tuntutan pendidikan nasional, karena pendidikan multikultural sesuai dengan fungsinya
sebagai pembentukan watak warga negara yang diarahkan pada kerukunan antar budaya, dan
learning to live together (UNESCO).
Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan paradigma baru dalam pendidikan, yaitu merancang kurikulum masa depan yang berorientasi pada learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together.
Learning to live together merupakan usaha untuk merespons berbagai permasalahan
yang disebabkan oleh adanya keberagaman dan kemajemukkan yang dipertajam oleh perbedaan. Dalam kaitannya dengan multikulturalisme pendidikan diarahkan untuk memberikan bekal kepada anak didik agar dapat hidup dalam masyarakat majemuk yang memiliki budaya yang sangat beragam. Untuk bisa hidup bersama, berdampingan dengan sesama warga negara lainnya walaupun berbeda kultur,
agama, etnik dan golongannya. UNESCO dalam sidangnya pada bulan Oktober 1999 di Geneva (Deddy, 2000) merumuskan sebagai berikut:
1.
Pendidikan seyogyanya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai
yang ada dalam kebhinnekaan baik pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta
mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
2.
Pendidikan sebaiknya menumbuhkan solidaritas dan kesamaan pada tataran nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan
yang seimbang dan lestari.
Hasil sidang UNESCO tersebut dapat dijadikan acuan agar pendidikan mulai memperhatikan keberagaman budaya sebagai salah satu aspek yang dijadikan dasar untuk membahas kebijakan pendidikan. Pendidikan multikultural adalah tuntutan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikaji secara seksama mengenai konsep, sistem dan implementasinya dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan multikultural erat kaitannya dengan pengembangan karakter warga Negara Indonesia sebaga anggota masyarakat pluralism, dan multikulturalisme dalam tatanan yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, dalam diri siswa akan ditanamkan hal-hal seperti berikut:
1. Hubungan yang akrab dengan sesama siswa yang memiliki latar belakang sosial budaya yang
beraneka ragam.
2. Sikap berempati siswa dengan cara mengamati sikap, pandangan, perasaan dan persepsi siswa lain yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
3. Rasa menghormati dan menghargai nilai budaya dan kepentingan yang beragam sebagai
kekayaan bangsa yang harus dijaga kelestariannya.
Tobroni dkk (Tobroni, 2007) menyatakan bahwa “Pendidikan Multikutural”
adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua siswanya tanpa memandang jenis kelamin , kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya. Walaupun pengertian tersebut sangat sederhana,
pendidikan multikultural harus diberi makna dan sesuai dengan fungsi pendidikan nasional. Gorski
dan
Colvert dalam Tobroni mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut.
1. Setiap siswa harus mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi dirinya;
2. Mempersiapkan setiap siswa untuk berpartisipasi secara kompeten dalam masyarakat
interbudaya;
3. Guru dipersiapkan agar dapat membantu belajar setiap siswa secara efektif tanpa memandang latar belakang budaya yang berbeda;
4. Sekolah harus berpartisipasi aktif dalam mengakhiri segala bentuk penindasan;
5. Pendidikan harus berpusat pada siswa dan terbuka terhadap aspirasi dan pengalaman siswa.
Pendidikan multikultural berorientasi pada aktivitas siswa, dan perilaku siswa banyak dipengaruhi oleh budayanya. Oleh karena itu, pendidikan multikultural berupaya membantu siswa mengembangkan semua potensi sebagai pelajar dan anggota masyarakat. Untuk mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam pelajaran di sekolah terutama dalam mata pelajaran PKN, alangkah baiknya dikemukakan Permendiknas Nomor 22 tah 2006, tentang ruang lingkup mata pelajaran PKN untuk pendidikan dasar dan menengah, seperti berikut.
1.
Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi; hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan,
kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap negara kesatuan RI,
keterbukaan dan jaminan keadilan.
2.
Norma, hukum dan aturan, mencakup; tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sisem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
internasional.
3.
Hak asasi manusia (HAM) meliputi; hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan-penghormatan dan
perlindungan HAM.
4.
Kebutuhan warganegara meliputi; hidup gotong royong, harga diri sebagai masyarakat,
kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, mengahargai keputusan bersama, prestasi diri, dan persamaan kedudukan warga negara,
5.
Konstitusi negara, meliputi; proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi
yang pernah digunakan Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
6.
Kekuasaan dan politik, meliputi; pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi
menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
7.
Pancasila meliputi; kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses
perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
8.
Globalisasi meliputi; globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi,
dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi
globalisasi.
Lingkup materi untuk pendidikan dasar dan menengah tersebut cukup memberikan gambaran
dan landasan bagi diintegrasikannya pendidikan multikultural di sekolah. Sekolah harus meramu dan mengemasnya ke dalam pelajaran PKN melalui lingkup materi persatuan dan kesatuan, norma, hukum dan aturan, HAM, kebutuhan warga negara, kekuasaan dan politik, Pancasila, dan lingkup globalisasi. Pada lingkup ini dapat diintegrasikan pendidikan multi kultural sehingga terciptalah PKN berbasis multikultural.
PEMBAHASAN
A. Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah,
bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan adalah “hal-hal yang bersangkutan
dengan akal”. Dalam bahsa Latin makna ini sama dengan colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama menyangkut
tanah. Konsep tersebut lambat laun berkembang menjadi segala upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Wiranata, Antropologi
Budaya (2018: 95)
E.B. Taylor
(1871) berpendapat bahwa, “Kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan
yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.”
Lain lagi halnya
menurut R. Linton (1947) ia menyimpulkan bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi
tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentuknya
didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Menurut Raymond
Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka, kata “kebudayaan” (culture) merupakan salah satu dari dua
atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris. Mengapa
demikian? Menurutnya, kata ini sering mengacu pada sejumlah konsep penting
dalam beberapa disiplin ilmu yang berbeda-beda pula. Pada awalnya “culture” dekat pengertiannya dengan
kata “kultivasi” (cultivation), yaitu
pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya
diturunkan istilah kultus atau “cult”).
Sejak abad ke-16 hingga 19, istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk
pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat
pembelajaran. Mudji dan Hendar, Teori-teori Kebudayaan (2005: 7, 8)
A.
Unsur
yang Terdapat dalam Kebudayaan
Kluckhon
membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut
dengan kultural universal. Koentjaraningrat mengartikan istilah universal
sebagai unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal dan dapat ditemukan di
dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh
unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata
pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian. Siany dan Atiek, Khazanah
Antropologi 1 (2009: 58)
B.
Wujud
Kebudayaan
Dalam
memahami sebuah kebudayaan maka setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan
di atas harus dibagi menjadi tiga kategori wujud kebudayaan, yaitu sistem ide,
aktivitas, dan artefak. Siany dan Atiek, Khazanah Antropologi 1 (2009: 58)
Wujud
kebudayaan sebagai sistem ide bersifat sangat asbstrak, tidak bisa diraba atau
difoto dan terdapat dalam alam pikiran individu penganut kebudayaan tersebut.
Wujud kebudayaan sebagai sistem ide hanya bisa dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari yang mewujud dalam bentuk norma, adat istiadat, agama, dan hukum
atau undang-undang. Contoh wujud kebudayaan sebagai sistem ide yang berfungsi
untuk mengatur dan menjadi acuan perilaku kehidupan manusia adalah norma
sosial.
Wujud
kebudayaan sebagai sistem aktivitas merupakan sebuah aktvitas atau kegiatan
sosial yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat. Sistem ini terdiri
atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan secara kontinu
dengan sesamanya. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, bisa difoto, dan bisa
dilihat. Misalnya, upacara perkawinan masyarakat Flores, atau proses pemilihan
umum di Indonesia.
Wujud
kebudayaan sebagai sistem asterfak ialah wujud yang paling konkret, bisa
dilihat, dan diraba secara langsung oleh pancaindra. Wujud kebudayaan ini
adalah berupa kebudayaan fisik yang merupakan hasil-hasil kebudayaan manusia
berupa tataran sistem ide atau pemikiran ataupun aktivitas manusia yang berpola.
Misalnya, kain ulos dari Batak atau wayang golek dari Jawa. Siany dan Atiek,
Khazanah Antropologi 1 (2009: 56, 57)
C.
Hakikat
Tradisi
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia V, tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun
(dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
(KBBI, V) Ada yang menyebutkan bahwa tradisi berasal dari kata traditium, yaitu
segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang.
Selain itu, Hasan Hanafi juga berpendapat bahwa tradisi (turats) ialah segala
warisan masa lampau yang masuk pada kita dan masuk kedalam kebudayaan yang
sekarang berlaku. Dengan demikian, Hanafi memiliki pandangan lain dari tradisi,
yaitu tidak hanya merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus
merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya.
Secara
terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang
adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia merujuk kepada sesuatu yang
diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa
sekarang.
Contoh
tradisi yang ada di Indonesia: Nyandran di
Jawa; Ronggeng di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat; Belis di Timor,
Sumba, Alor, dan Flores. (Yanu, Mengenal
Tradisi Bangsa (2010: 1 – 21) Dan masih banyak lagi tradisi yang ada di
Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Tradisi dalam Khazanah Sastra Nusantara
Keberadaan budaya daerah dan adat istiadat
yang melahirkan pola kehidupan, tradisi dan bahasa daerah di Indonesia
merupakan aset yang tidak ternilai harganya, karena kebudayaan daerah itu
sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang ikut mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan secara nasional. Kekayaan khasanah sastra di Indonesia
memang banyak dan luar biasa. Di Indonesia terdapat ratusan jenis bahasa daerah
yang dengan sendirinya memiliki ratusan jenis sastra daerah. Kekayaan khasanah
sastra Nusantara secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu: sastra lisan,
sastra tulis dan sastra modern (Semi, 1993:3).
Kehadiran sastra lisan dalam kehidupan
bermasyarakat merupakan cerminan solidaritas dan pengenal identitas yang
disampaikan secara lisan dan memiliki tujuan tertentu. Atmazaki (2007:138)
menyatakan bahwa sastra lisan mempunyai banyak fungsi. Dengan sastra lisan,
masyarakat purba atau nenek moyang umat manusia mengekspresikan gejolak jiwa
dan renungannya tentang kehidupan. Emosi cinta diungkapkan lewat puisi-puisi
sentimental, binatang buas dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra.
Asal-usul nama daerah, hukum adat, dan macam-macam kearifan yang dicurahkan
melalui berbagai mitos, dongeng, tombo, dan riwayat.
Menurut bentuknya, sastra lisan dapat
diklasifikasikan sebagai prosa, puisi, dan prosa liris. Menurut Karimi (dalam
Esten, 1993:12) adalah: (1) kunun, (2) dongeng (mitos, sage, legend, dan
fabel), (3) cerita penggeli hati, (4) cerita pelipur lara, (5) cerita
perumpamaan, (6) cerita pelengah, dan (7) kunun baru. Cerita yang berhubungan dengan asal-usul
suatu benda, binatang atau tumbuh-tumbuhan berdasarkan gejalagejala yang
terdapat pada alam atau rupanya sekarang ini, disebut etiologi (Djamaris, 1990:
47).
Etimologi tempat atau kejadian suatu tempat
merupakan cerita tentang asal-usul atau penamaan tempat atau kejadian yang
terdapat dalam beberapa daerah. Cerita rakyat asal-usul nama daerah, misalnya
cerita rakyat di pulau Sumatera, yaitu asalusul Lonceng Cakra Donya Banda Aceh,
asal-usul Kera Putir di Gunung Panjang Aceh Tengah, asal-usul Goa Loyang Pukes
Aceh Tengah, asal-usul nama Negeri Tapak Tuan Aceh Selatan, asal-usul
terjadinya Danau Toba di Sumatera Utara, asal-usul nama beberapa Kota dan
Nagari Sumatera Barat, asal-usul nama Kota Palembang Sumatera Selatan, asalusul
nama Kepulauan Riau, dan asalusul nama Bukit Tambun Tulang Kerinci di Bengkulu
(Ananda, 1995:8). Begitu pula cerita rakyat di seluruh Nusantara yang
berhubungan dengan penamaan tempat, misalnya cerita rakyat asal-usul nama
Tengger, cerita rakyat terjadinya Gunung Batok, cerita rakyat penamaan Sungai
Perak, cerita rakyat asal mula kampung Labewa di Sulawesi Selatan, cerita
rakyat asal mula nama Jember, dan lain sebagainya (Djamaris, 1990:53-54).
Danandjaja (dalam Endraswara, 2013:200)
menyatakan bahwa istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari
folklor lisan. Sedangkan menurut Brunvand (dalam Endraswara, 2013:200) folklor
lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang
termasuk ke dalam kelompok besar ini, antara lain: 1) Ragam tutur rakyat (folk
speech) seperti logat, julukan, jabatan tradisional, dan gelar kebangsawanan;
2) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, pameo; 3) Pertanyaan
tradisonal, seperti teka-teki; 4) Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan
syair; dan 5) Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng).
·
Khazanah Sastra Nusantra
Sastra Bali merupakan salah satu khazanah kesusastraan
Nusantara. Seperti kesusastraan umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan
dalam bentuk lisan (orality) dan bentuk tertulis (literary). Menurut katagori
periodisasinya kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra
Bali Anyar. Sastra Bali Purwa maksudnya adalah Sastra Bali yang diwarisi secara
tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sastra Bali Anyar yaitu karya
sastra yang diciptakan pada masa masyarakat Bali telah mengalami modernisasi.
Ada juga yang menyebut dengan sebutan Sastra Bali Modern.
Sastra Bali ditulis dengan menggunakan berbagai media
seperti batu, lempengan tembaga, bilah bambu, kulit binatang, kayu, kulit kayu,
kertas, dan daun lontar (daun siwalan). Bahasa yang digunakan untuk menulis
Sastra Bali ada tiga jenis yaitu Bahasa Jawa Kuna (Kawi Bali), Bahasa Jawa
Tengahan, Bahasa Bali. Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang
ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur.
Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini
bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi.
Isinya ditulis dalambahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M
yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin
yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Dari
semua sastra tradisional Nusantara,
sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya
sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak
dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa
Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang
berasal dari India Selatan.
Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern
atauHanacaraka yang
masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islampada
abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga
dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama
huruf pegon.
Ketika bangsa Eropa datang
ke Jawa, abjad Latin pun
digunakan untuk menulis bahasa Jawa
Sastra
Jawa Kuno
Sastra
Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada
periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi,
dimulai dengan Prasasti Sukabumi.
Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran)
maupun puisi(kakawin).
Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum,
kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan
dalam bentuk manuskrip dan prasasti.
Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan
sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di
sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode
ini termasuk Candakarana,Kakawin Ramayana dan
terjemahan Mahabharata dalam
bahasa Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan
ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar.
Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada
pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula
teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Sastra Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai
berkembang pada abad ke-19 awal
dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles,
Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain
sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat.
Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau
mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno
Sastra
Jawa
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah
masuknya agama Islam di
pulau Jawa
dari Demak antara
abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya
sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula
digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah
salah satu yang terpenting. Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya
sastra bersifat ensiklopedis sepertiSerat Jatiswara dan Serat Centhini.
Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan
semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini
mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra
Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi
semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna.
Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai
dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang
khusus adalah babad, yang
menceritakan sejarah.
Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan
semakin terasa di Pulau Jawa sejak
abad kesembilan belas Masehi.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu,
dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839,
oleh Taco Roorda)
juga diciptakan huruf cetak berdasarkanaksara Jawa gaya Surakarta untuk
Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Sastra
Melayu
Sastra Melayu Klasik bermula pada abad ke-16 Masehi.
Semenjak itu sampai sekarang gaya bahasanya tidak banyak berubah Dokumen pertama
yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja Ternate, Sultan Abu Hayat kepada rajaJoão
III di Portugal dan
bertarikhkan tahun 1521 Masehi.
v Gurindam
Gurindam adalah
satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama
akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama
berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan
jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
contoh :
Pabila
banyak mencela orang
Itulah
tanda dirinya kurang
Dengan ibu hendaknya hormat
Supaya badan dapat selamat
v Hikayat
Hikayat adalah
salah satu bentuk sastra prosa yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng
maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang
lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
v Karmina
Karmina atau
dikenal dengan nama pantun kilat adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris
pertama merupakan sampiran dan baris kedia adalah isi. Memiliki pola sajak
lurus (a-a). Biasanya digunakan untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan
secara langsung.
Contoh
: Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu masih bertanya pula
v Pantun
Pantun merupakan
sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris
pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna); dua
baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Contoh
Pantun : Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang
v Seloka
Seloka merupakan
bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang
mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris
memakai bentuk pantun atau syair, terkadang dapat juga ditemui seloka yang
ditulis lebih dari empat baris.
contoh
seloka 4 baris: Sudah bertemu
kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
v Syair
Syair adalah puisi
atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya
terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti
atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud)
v Talibun
Talibun adalah
sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi
lebih dari 4 baris ( mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Berirama abc-abc,
abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Contoh
Talibun : Kalau anak pergi ke
pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu
Sastra Minangkabau adalah sastra yang hidup dan
dipelihara dalam masyarakat Minangkabau,
baik lisan maupun tulisan. Adapun sastra lisan yang masih hidup dalam
masyarakat Minangkabau adalah jenis kaba dan dendang
Kaba adalah cerita yang disampaikan oleh tukang kaba dengan
iringan gesekanrabab. Kekuatan
sastra kaba ini sangat ditentukan kemampuan tukang kaba. Jenis sastra kaba
tersebut misalnya Kaba Cindua Mato, Kaba Anggun Nan Tongga, Kaba Lareh Simawang, Kaba Rancak Dilabuah, Kaba Gadih Basanai, Kaba Malin Deman, Kaba Rambun Pamenan, dan sebagainya.
Dilihat dari sudut pandang budaya, sudah pasti khazanah
itu penting dikaji dan diapreasikan secara luas ke tengah masyarakat. Ia
penting sebagai sumber ilham kreativitas kita dan cermin untuk mengenal
diri dan jatidiri budaya bangsa. Karya-karya klasik itu, sebagaimana
karya-karya modern yang awal, perlu dibaca oleh pengarang atau penyair masa
kini untuk merangsang kreativitas dan mengembangkan wawasan baru yang lebih
berpijak dalam jiwa kebudayaan bangsanya. Jika dalam kehidupan sehari-jari
jejak budaya bangsa kita itu sudah luntur, mau tidak mau kita harus
melihat kepada teks, dan bukan semata-mata melihat konteks. Melihat konteks
semata-mata akan menyebabkan kita pergi jauh ke luar diri kita. Karena ketika
kita melihat konteks, kita perlu melihat teks, sebab hanya teks yang
mampu membawa kita melihat ke dalam diri kita.
Karya-karya lama Nusantara sebenarnya memiliki
sumber-sumber yang kaya untuk ilham bagi pembaruan. Kita dapat mengatakan bahwa
beberapa pembaru seperti Chairil Anwar berhasil tanpa mempelajari khazanah
sastra tradisi bangsanya, tetapi pernyataan itu lemah sekali. Jika kita baca
dengan seksama dan membandingkan dengan puisi-puisi Pujangga Baru, kita akan
melihat bahwa sajak-sajaknya yang revolusioner itu dibayangi oleh sajak-sajak
Amir Hamzah yang romantik sufistik. Dalam sejarah sastra dunia, kita
temukan pula pengarang-pengarang besar yang mendapatkan sumber ilham bagi
pembaruannya dari tradisi besar kreativitas bangsanya atau khazanah sastra
klasik dan tradisi estetika yang telah lama berkembang di negeri mereka.
B.
Nilai-nilai yang Terkandung dalam Sastra Nusantara
Benturan nilai dan relativitas budaya Individu dan kelompok masyarakat
biasanya menganut nilai sendiri-sendiri. Bila terjadi pertemuan di antaranya
dan satu dengan yang lain nampak tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya
merasa benar dan menyalahkan pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh
yang lain maka ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural bukan
semata-mata bersifat subjektif atau pribadi tetapi menjadi bersifat
intersubjektif. Individu sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu
tindakan adalah makna yang ditanggapi pada asumsi-asumsi tindakan dalam konteks
relativisme etis dan absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, atas
relativitas tersebut yang mutlak adalah kebenaran Tuhan).
Dalam budaya tertentu orang mungkin harus
mengagungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi semangat rakyat, tetapi
dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin dianggap sombong atau bahkan
dilarang (Adeney, 1995: 16-17). Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa
dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai kulturalnya, ada pemahaman yang
tidak selalu sama antara yang dianggap baik di pihak yang satu yang berbeda
dengan penilaian pihak lain. Hal yang menjadikan masing-masing orang atau
kelompok orang berbeda-beda dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena
orientasi nilai masing-masing mereka yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan
orientasi budaya inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena
itu perlu masing-masing orang atau kelompok orang menyadari perbedaan orientasi
nilai budaya ini. Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budaya ini dapat
saling memahami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan
dialog.
Tentang orientasi nilai budaya secara lengkap
dapat dilihat pada model kuantum individu, sosial, dan kosmos (Adeney,
2000:377-379). Data dimaksud dipakai sebagai upaya memahami aneka pemahaman dan
konsentrasi tiap inidvidu atau kelompok pada orientasi budaya tertentu. Jelas
disini bahwa orientasi yang berbeda antara individu atau kelompok yang satu
dengan yang lain akan menyebabkan bagaimana mereka menHai sesuai juga akan
berbeda. Dalam konteks kearifan lokal, penjelasan ini memungkinkan akan adanya
spesifikasi dari masing-masing budaya lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.
Ø Pemertahanan Nilai-nilai Budaya Lokal
Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Budaya
lahir dan dikembangkan oleh manusia, melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan
tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya diklaim
sebagai hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar yang sangat
bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang unik yang memanfatkan
simbol, tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada paksaan atau hubungan alamiah
dengan hal-hal yang mereka pertahankan. Dengan demikian, setiap manusia baik
individu atau kelompok dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta,
rasa, dan karsa masing-masing.
Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan
fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena
sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai
sarana komunikasi. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam
komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat
komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial,
pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam
penggunaan bahasa.
Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa
selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan
nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap
unsur-unsur budaya suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial
yang telah disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam
mempelajari suatu bahasa. Pada tahun 60-an komite Amerika mengenai bahasa dan
budaya mengungkapkan hubungan antara bahasa dan budaya.
Hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Bahasa adalah
bagian dari budaya, dan harus didekati dengan sikap yang sama membimbing
pendekatan kita lepada budaya sebagai satu keseluruhan.
2) Bahasa adalah
wahana budaya, maka oleh karenanya guru bahasa juga harus sekaligus guru
budaya.
3) Bahasa itu
sendiri merupakan subjek bagi sikap dan kepercayaan terkondisi secara kultural,
yang tidak dapat diabaikan di dalam kelas bahasa (Bishop dalam Tarigan, 1991:
56).
Dari pendapat Bishop di atas terlihat bahwa
bahasa tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa sebagai subsistem
komunikasi adalah suatu bagian dari sistem kebudayaan, bahkan merupakan bagian
terpenting dari kebudayaan. Pemelajaran sastra merupakan bagian dari pelajaran
bahasa Indonesia. Di negara kita, pemelajaran sastra belum berdiri sendiri,
tetapi masih menjadi bagian integratif dari pelajaran bahasa. Terkadang pula
pemelajaran sastra hanya menempati porsi yang sedikit dari pemelajaran bahasa.
Seharusnya pemelajaran sastra harus mendapatkan porsi yang seimbang dengan
pemelajaran bahasa.
Pemelajaran sastra diharapkan akan menjadikan
anak didik menjadi manusia yang memiliki identitas kebangsaan. Tetapi, kini
anak usia sekolah pada umumnya senang dengan budaya asing. Hal ini harus
menjadikan para pendidik waspada, karena lama kelamaan akan menjauhkan
anak-anak dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercerabut dari budaya nenek moyangnya
sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian
dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk
mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap
nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaharuan dalam
proses pembangunan bangsa. Dalam hal ini perlu dicegah kebudayaan asing yang
negatif. Bahasa dan sastra daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam
rangka mengembangkan identitas keindonesiaan kita.
Anak usia sekolah cenderung menyalahartikan
globalisasi dengan mengonsumsi produk barat dan menelannya mentah-mentah.
Padahal budaya global banyak yang menyimpang dari etika orang Indonesia.
Anak-anak kita justru lupa akan budaya tradisionalnya sendiri. Banyak
kebudayaan tradisional yang tidak lagi dikenal oleh anak-anak kita, karena
mereka lebih menyukai kebudayaan barat yang terkenal dan populer. Perbaikan
keadaan budaya bangsa adalah tanggung jawab bersama, baik keluarga, sekolah,
pranata sosial, maupun masyarakatnya. Salah satu upayanya adalah memberikan
arahan sejak anak-anak. Misalnya, memperkenalkan budayanya sendiri sejak dini.
Di sekolah, usaha ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur budaya
daerah ke dalam mata pelajaran, salah satunya adalah ke dalam pelajaran bahasa
dan sastra Indonesia.
Sehubungan dengan pengertian kebudayaan, dalam
buku ” Primitive Culture” karangan E.B. Taylor yang pertama kali terbit tahun
1871, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Suriasumantri, 1996: 261). Kemudian
Kuntjaraningrat (1974: 12) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan unsur-unsur
yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sietem mata pencaharian
serta sistem teknologi dan peralatan. Dalam hal ini, kebudayaan merupakan garis
pemisah antara manusia dan binatang. Manusialah yang harus membentuk
kebudayaan, bukan kebudayaan yang membentuk manusia. Kebudayaan adalah
pengetahuan yang diperoleh dan digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi
pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Fungsi utama
kebudayaan adalah untuk menyebarkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Era global yang ditandai dengan percepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga
seakan-akan dunia merupakan sebuat perkampungan global tanpa sekat dan batas
yang jelas. Era global tersebut telah memberikan kesempatan kepada dunia dan
manusia yang hidup di dalamnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dari
berbagai ujung dunia yang berbeda, tanpa hambatan ruang dan waktu. akibat dari
gelala tersebut dikhawatirkan justru kebudayaan dari luarlah yang membentuk
anak didik, karena mereka umumnya masih belum bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka budaya yang datangnya dari barat
itu baik adanya. Padalah tidak semua yang datangya dari barat itu baik, justru
sebaliknya banyak pula budaya yang kurang baik, terutama yang bertentangan
dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa kita. Sifat individual, sikap permisif
terhadap seks merupakan contoh budaya yang datangnya dari luar yang tentunya
tidak sesuai dengan budaya bangsa kita.
Salah satu cara untuk memperkenalkan
nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada anak
didik kita. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan lokal dan
menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Memperkenalkan cerita
rakyat dalam bentuk mendongeng sebelum tidur misalnya merupakan budaya bangsa
kita dahulu, yang pada masa kini sudah mulai meluntur seiring berkembangnya
zaman. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan
eksistensi diri. Cerita tidak hanya digunakan untuk memahami dunia dan
mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana
penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan
dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya.
Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan
warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit
mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah
identitas, maka sungguh naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya
lokal lantas mengabaikan pelestariannya. Ibarat kata pepatah ”menggapai burung
terbang sementara punai di tangan dilepaskan”. Beberapa hal yang termasuk
budaya lokal misalnya cerita (dongeng) rakyat, ritual kedaerahan, tradisi
kedaerahan, kreativitas (tari, lagu, drama, dll.), dan keunikan masyarakat
setempat.
Beragam wujud warisan budaya lokal memberi
kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local genius) dalam mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan lokal adalah sikap,
pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani
dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh
di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal
adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan
situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005). Kearifan lokal adalah
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Menurut John Haba ( 2008:7-8) kearifan lokal
merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai
kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan
elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai
penanda identitas sebuah komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial;
(3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam
masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4) berfungsi memberikan
warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola pikir dan
hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common
ground; (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme
bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau
perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh
gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik
dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau
kelompok etnis tertentu. Masalahnya kearifan lokal tersebut seringkali
diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa
depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia,
terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa
yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan
sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa
Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru terkadang mengabaikan aset
yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif.
Nurgiyantoro (1995: 164) menegaskan bahwa
cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini,
jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana
penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak saja digunakan untuk
memahami dunia dan mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan
juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain,
menyimpan, dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke
generasi berikutnya.
Dalam era otonomi daerah sudah selayaknya dan
memang seharusnya budaya lokal diperkenalkan kepada anak-anak kita. Bahkan
dalam penyusunan kurikulum di tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah pun
sudah selayaknya mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran,
terutama mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dilakukan untuk
memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa kita.
Tontonan dan tayangan yang menunjukkan keragaman budaya dan bahasa di nusantara
teramat jarang. Seharusnya tontonan keragaman budaya nusantara disajikan sesering
mungkin pada anak-anak generasi penerus bangsa Indonesia, agar mereka tahu
produk media televisi juga menceritakan tentang tanah airnya. Selama ini
anak-anak lebih Indonesia akrab dengan ”Tom And Jerry” , ”Naruto”, ”Dora” ,
”Mickey Mouse”dan lain-lain, mana cerita anak yang berlatar belakang budaya
daerah yang ada di Indonesia? Mana produk bangsa ini yang bisa memperkaya
generasi muda dan meluaskan wawasan mereka terhadap multikultur dan kemajemukan
budaya bangsa? Tanpa sadar, kita telah dimiskinkan oleh aneka tontonan dan
tayangan yang mencerminkan budaya orang lain.
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk
mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi,
1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa.
Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang
mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik
melisankan melaui tulisan sastra. Perbedaan sastrawan dengan orang lain
terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia
yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki
budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan
sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh
sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi
pembaca (Semi, 1993:1). Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah
sewajarnya bila tujuan pemelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi,
kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal. Salah
satu genre sastra adalah prosa. Cerita rakyat (folklor) merupakan salah satu
jenis prosa.
Cerita rakyat sebagai salah satu budaya lokal
sudah sepantasnya mulai dijadikan sebagai bahan pemelajaran sastra di sekolah.
Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat terhadap anak didik
diyakini akan melekat sampai dewasa. Hal ini berkaitan dengan salah satu
manfaat pemelajaran sastra yaitu membentuk watak peserta didik. Karya sastra
memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra
terkandung nilai-nilai yang positif bagi pembaca dan berguna bagi masyarakat
secara luas. Sastra dapat menyampaikan amanat dan nilai-nilai, termasuk
nilai-nilai pendidikan kepada pembaca. Pesan moral dalan sastra sejatinya
esensi yang harus ditemukan oleh pembaca atau penikmat sastra. Pesan moral
dalam karya sastra merupakan hal terpenting dalam sastra sebagai bahan
kontemplasi pembaca dalam merajut nilai-nilai hidup dan melakoni kehidupan yang
lebih baik. Misalnya, cerita rakyat ”Dampu Awang” di daerah Banten yang
berlatar gunung Kramat Watu memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.
Bagaimana seorang anak harus bersikap hormat pada orang tua. Jangan sampai lupa
kepada orang tua walaupun sudah hidup sukses. Dari jalan ceritanya agak mirip
dengan cerita rakyat yang sudah lebih dulu terkenal dari daerah Minangkabau,
yaitu Malin Kundang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar