RANGKUMAN FILOLOGI



FILOLOGI

Aksara Nusantara
Pengaruh aksara dari India membuahkan varian-varian daerah yang bisa amat berbeda-beda dan digunakan untuk menuliskan bahasa-bahasa daerahnya masing-masing. Bentuknya yang rumit dimodifikasi sesuai kebutuhan. Aksara Batak, Sumatera Selatan, Bugis, Makassar Kuno, Sunda Kuno, dan Buda merupakan jenis-jenis aksara hasil penyesuaian sistem abjad India. Demikian juga huruf Arab, yang dimodifikasi sedemikian rupa, disesuaikan dengan logat lokal di sepanjang tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Huruf Arab yang telah disesuaikan ini dinamakan Jawi untuk menuliskan bahasa Melayu, sementara huruf Pegon merupakan penyebutan huruf Arab hasil Modifikasi lokal masyarakat Jawa, Sunda dan Madura untuk menuliskan bahasa daerah masing-masing.
Aksara-aksara ini berkembang dalam periode-periode tertentu dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia, juga digunakan secara khusus di wilayah-wilayah tertentu dan seringkali menandai ciri khas kedaerahan, seperti aksara Batak, aksara Rejang atau aksara Bugis. Tetapi, seringkali beberapa aksara digunakan secara bersamaan dalam satu periode waktu tertentu, seperti aksara Jawa dan Pegon, atau bahkan melintas wilayah etnis, seperti huruf Jawi yang digunakan di Sumatera sampai Papua Sebelah Barat, atau aaksara Jawa hanacaraka yang juga digunakan di Jawa, Sunda, Madura hingga Lombok.
Macam-macam Aksara :
1.      Aksara Pallawa
2.      Aksara Kawi
3.      Aksara Buda
4.      Aksara Bali
5.      Aksara Bugis
6.      Aksara Jawa
7.      Aksara Batak (Toba)
8.      Aksara Jawa & Pegon
9.      Aksara Rejang
10.  Aksara Sunda

Pustaka
Aksara adalah suatu sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya (batu, kayu, kain, dan lain sebagainya) untuk mengungkapkan unsur-unsur yang ekspresif dalam suatu bahasa. Istilah lain untuk menyebut aksara adalah sistem tulisan. Alfabet dan abjad merupakan istilah yang berbeda karena merupakan tipe aksara berdasarkan klasifikasi fungsional. Unsur-unsur yang lebih kecil yang terkandung dalam suatu aksara antara lain: grafem, diakritik, tanda baca, dan sebagainya.
“Aksara” secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta Yaitu akar kata “a-” yang berarti ‘tidak’ dan “kshara” yang berarti ‘termusnahkan’. Jadi, aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan/kekal/langgeng. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal, karena peranan aksara dalam mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulis. Melalui aksara yang ditatah di atas batu hingga ditulis di atas daun lontar dan lempeng tembaga, kesuraman dan kejayaan masa lalu dapat dijamah kembali melalui bukti-bukti literal.

Sejarah Aksara
Gelombang 1 – Era Hindu Buddha
Dokumen paling awal yang menjadi bukti penggunaan tulisan di Indonesia adalah prasasti Yupa di Kalimantan Timur, yang berasal dari abad ke-5. Aksaranya sangat terkait dengan prasasti-prasasti yang berasal dari Dinasti Palawa di India. Bahasa Sansekerta yang terdapat dalam prasasti menjadi bukti pengaruh peradaban India dan agamanya, baik Hindu maupun Buddha, di wilayah Indonesia. Kemudian bentuk aksara mengalami modifikasi, menjadi apa yang disebut Palawa akhir, yang ditemukan dalam prasasti-prasasti di Jawa dan Sumatra. Contoh yang indah adalah prasasti Talang Tuwo yang dihasilkan pada masa kejayaan Sriwijaya pada tahun 684 masehi, ketika kerajaan ini, sebagaimana laporan oleh peziarah Cina 1-Ching menjadi salah satu pusat pembelajaran agama Buddha yang penting.
Gelombang 2 – Era Islam
Periode kegemilangan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha menuju senja, dan budaya modern Islam yang menawarkan pembaharuan mulai menyisihkan pengaruh lama. Gelombang ini juga diiringi penyebaran aksara Arab, aksara yang membawa ideologi politik dan agama Islam, yang mendapatkan tempat terutama di wilayah berbahasa Melayu dan di wilayah-wilayah pesisir. Sementara wilayah-wilayah masyarakat yang berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Makassar, Rencong, Batak mempertahankan jenis tulisannya yang terdahuu. Seringkali jenis-jenis tulisan ini digunakan pada satu rentang waktu yang sama.
Gelombang 3 – Era Eropa
Penggunaan aksara Latin hampir di seluruh wilayah di Indonesia, seiring kedatangan Eropa sejak abad ke-16. Para kaum misionaris memegang peran penting dalam proses latinisasi di Indonesia, bahkan sejak abad ke-17, mereka menggunakan aksara Latin untuk menerjemahkan Alkitab. Perkembangan luar biasa aksara Latin terjadi seiring mulai merebaknya percetakan, terutama pada abad ke-19, menggantikan tradisi salin-menyalin naskah yang teah berlangsung sejak lama.

Gebang (Jawa Kuna, Sunda Kuna)
Sebelumnya bahan ini diidentifikasi sebagai nifah, tetapi bukti terbaru menunjukkan bahwa jenis daun yang digunakan sebetulnya adalah gebang, sebagaiman dicatat sumber dari Jawa dan Bali Gebang berasal dari pepohonan sejenis palem (Corypha utan, Corypha gebanga) (Rigg, 1864: s.x)
Tinggi pohon yang sudah dewasa berkisar antara lima belas hingga dua puluh meter, daunnya berkumpul pada ujung batang pohon dengan bentuk menyerupai kipas atau seperti jari tangan yang terbuka. Diameter daun mencapai 2 hingga 3,5 meter dan berkumpul di ujung batang pohon. Daun gebang cenderung lebih tipis dan berwarna lebih cerah dibandingkan daun lontar. Daun gebang ditulisi menggunakan tinta hitam menggunakan sejenis alat tulis. Daun gebang dikenal dengan berbagai sebutan di daerah-daerah tertentu. Masyarakat Dayak mengenalnya sebagai gebang, masyarakat Timor menyebutnya gawang, di Madura disebut pocok, di Betawi pucuk, di Batak dan di Sasak disebut Ibus, sementara di Minahasa disebut sillar Naskah yang ditulis pada media daun gebang adalah naskah koleksi Perpusnas bernomor L 641, yang berisi kisah Arjunawiwaha.

Dluwang, Daluwang (Jawa, Melayu, Sunda)
Daluwang merupakan kertas hasil produksi yang berbahan dasar kulit kayu pohon Broussonetia papyrifera Vent. Pohon ini dinamakan pohon saeh dalam bahasa Jawa, disebut daluwang dalam Jawa Kuna, daluwang dalam bahasa Sunda atau ulantaga dalam bahasa Bali.
Kata daluwang sendiri sudah disebut sejak abad ke-9 dalam Kakawin Ramayana dan pada Kakawin Sumanasantaka (abad ke-12) dan merujuk kepada jenis pakaian dari kulit kayu yang digunakn kaum pertapa. Naskah dluwang tertua yang saat ini diketahui adalah naskah yang disebut “Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah) yang berasal dari sekitar abad ke-14.
Naskah-naskah yang berbahan daluwang terutama berasal dari Jawa, Sunda dan Madura, selain terdapat contoh kecil dari Sulawesi Selatan dan Sumatra. Produsen yang masih aktif membuat daluwang dapat ditemukan di Tunggilis Garut dan Tegalsari Ponorogo.


Bambu (Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sunda Kuna)
Jenis bambu yang dijadikan bahan naskah tergantung pada bentuk yang ingin dihasilkan. Di Sumatera Utara, bambu yang dianggap baik adalah bambu berkulit halus yang disebut bulu suraton yang usianya sudah tua, sedangkan di Palembang, bambu yang dianggap paling baik kualitasnya adalah bambu betung (Dendrocalamus Asper).
Naskah-naskah dari bambu ini disebut gelumpai di Sumatera Selatan. Bambu yang muda terlalu rawan terhadap serangan serangga. Aksara maupun ornamen pada media bambu ditulis menggunakan sebuah pisau raut yang runcing. Tulisannya mengikuti panjang ruas bambu, bagian buku bambu tidak ditulisi. Bagian buku bambu biasanya diratakan atau dihiasi dengan ornamen. Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan kemiri yang dibakar hingga mengeluarkan minyak. Campuran abu dan minyak yang hitam dan pekat itu akan menempel pada bekas goresan pisau dan menghasilkan warna kontras pada permukaan bambu yang coklat kekuningan. Bentuk bulat bambu mengakibatkan sulitnya penulisan. Untuk menghindari agar bambu tidak bergeser saat ditulisi, maka salah satu ujungnya disandarkan pada bagian perut penulis dan ujung lainnya dipegang dengan tangan kiri. Itulah sebabnya penulisan naskah bambu berjalan vertikal dari bawah ke atas, bukan dari kiri ke kanan. Cara penulisan yang sama juga ditemukan di daerah Filifina bila menulis di bambu.

Kertas Cina (Melayu, Jawa, Sunda, Sulawesi, Kalimantan, Papua Barat)
Pada masa-masa kuno, tulisan dan prasasti yang umumnya terbuat dari tablet bambu atau di atas potongan sutra yang disebut chih. Tapi karena harga sutra menjadi mahal dan bambu yang berat, membuat kedua bahan tersebut menjadi tidak praktis untuk digunakan.
Kemudian seseorang berkebangsaan tionghoa, yaitu Tsai Lun (Cai Lun) memprakarsai ide membuat kertas. Kertas yang biasa disebut kertas cina ini dibuat menggunakan bahan dari kulit kayu murbei, sisa-sisa rami, kain bekas, dan jaring ikan. Proses dimulai dengan merendam bagian dalam kulit kayu tersebut di air dan dipukul-pukul sehingga seratnya lepas. Bersama dengan kulit, direndam juga bahan rami, kain bekas, dan jala ikan. Setelah menjadi bubur, bahan ini ditekan hingga tipis dan dijemur. Lalu jadilah kertas yang mutunya masih belum sebagus sekarang. Berkat penemuannya ini, Tsai Lun mendapatkan gelar kebangsaan dan catatan tentang penemuannya tertulis dalam sejarah resmi Dinasti Han.
Pada awal abad ke tiga, proses pembuatan kertas pertama ini menyebar ke wilayah Korea dan kemudian mencapai Jepang, kertas jenis ini merambah negeri Arab pada masa Dinasti Tang dan mulai menyentuh Eropa pada abad ke 12. Kemudian pada abad ke 16, kertas mencapai wilayah Amerika dan secara bertahap menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Kulit Alim (Batak)
Kulit kayu alim (Aquilaria) adalah bahan utama yang digunakan untuk membuat laklak, alas tulis dalam tradisi naskah Batak. Kulit kayu alim yang dipakai bukanlah kulit luar yang sudah kering dan mati, melainkan lapisan dalam yang tidak keras melainkan liat. Proses produksinya memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki sembarangan orang.
Pertama-tama kayu dipanen dan dikeringkan, kemudian dipilih yang ukurannya cocok untuk keperluan menulis. Kemudian, setelah kulit kayu dikelupas, kulit luar yang kering dipisah dari kulit dalamnya. Kupasan kulit kayu tersebut bisa mencapai 15 meter dan lebar 60 cm. Kulit kayu alim tidak ditempa seperti daluwang. Jika ukuran panjang lembaran tidak sesuai yang diinginkan, maka lembaran ditempelkan. Kemudian, kedua ujungnya dipotong lurus, dan permukaannya diratakan menggunakan pisau. Berikutnya dihaluskan menggunakan dedaunan. Daun yang digunakan biasanya jenis Ficus Ampelas burm. Tahap yang paling sulit dalam memproses kulit kayu alim adalah saat melipat, sebagaimana yang tampak pada naskah-naskah.
Ciri lipatan kertas serupa akordeon inilah yang paling mencolok dalam naskah Batak. Lipatannya lalu ditokok-tokok menggunakan martil kayu agar terlihat rapih, kemudian kedua belah sisi dipotong dengan pisau sehingga lunak. Laklak yang sudah dilipat ini diolesi tepung beras dan air kulit kayu supaya menjadi licin dan mengikat tinta sehingga mudah ditulisi. Setelah kering, pustaha digarisi sesuai dengan jumlah baris yang ingin ditulis. Garis yang sangat tipis dan terlihat samar ini dibuat untuk memudahkan dan merapihkan tulisn. Untuk membuat garis ini digunakan penggaris (balobas) yang terbuat dari sebatang bambu, sedangkan untuk menggarisinya digunakan pisau bambu (panggorit).
Laklak ditulisi dari bawah ke atas pada naskah yang diletakkan secara horizontal. Atas tulis ini kemudian ditulisi menggunakan lidi enau yang disebut tarugi.

Daun Lontar (Jawa Kuna, Bali, Sunda Kuna, Lombok, Bugis
Daun lontar merupakan sejenis daun palem (Borassus flabellifer). Daun ini diolah sedemikian rupa menjadi alat tulis yang berkualitas. Kata lontar sebetulnya bentukan metatesis dari kata Jawa Kuna ron tal, yang berarti daun tal, yakni daun pohon tal.
Sebelum diproduksi sebagai alas tulis naskah, daun lontar dipilih dan dipetik. Bagi orang bali, bulan terbaik untuk pemetikan ini adalah bulan Kartika (September/Oktober), Kasanga/Kadasa (Maret/April) sebelum naik bulan purnama. Di luar bulan-bulan tersebut kualitas lontar dianggap kurang baik untuk dijadikan bahan tulis. Pohon yang baik terutama yang tumbuh di daerah kering dan di wilayah pesisiran. Hasil akhir produksi daun lontar yang ingin dihasilkan adalah daun lontar yang kering dan tahan terhadap serangga. Daun yang telah menjadi alas tulis ini ditulisi oleh alat tulis khusus, sjenis pisau yang disebut pengrupak di Bali atau peso pangot di Sunda. Selain digunakan secara luas di Bali dan Jawa, naskah lontar juga pernah dipakai di Sulawesi Selatan, yang menyebabkan kemungkinan hubungan antara kaata lontara dan lontar, meskipun saat ini lontara berarti ‘naskah’ dalam bahasa Bugis. Dalam bahasa Bugis, lontar disebut ‘ta dan dalam bahasa Makasar DISEBUT TALA. JIKA DI Jawa bentuk naskah lontar berupa lembaran-lembaran terpisah yang disatukan dengan tali pengikat dan dijilid dengan kayu pengapit, di Sulawesi Selatan bentuk naskah lontar betul-betul unik. Ukuran lontarnya bisa mencapai puluhan meter dan lebarnya hanya sekitar 1,5 cm. Panjangnya yang luar biasa ini dijahit dengan digulung dalam sebuah gulungan sehingga bentuk naskahnya mirip dengan gulungan kaset. Naskah-naskah berbentuk unik khas Sulawesi Selatan ini jumlahnya sangat sedikit. Untuk menghasilkan lontar sebagai alat tulis , pertama-tama daun yng belum dipotong dikeringkan di bawah sinar matahari yang menyebabkan warnnya berubah kuning pucat. Kemudian daun dicuci pada air mengalir atau dalam bak air yanng selalu diganti airnya setiap hari selama tiga sampai empat haarri. Setelah itu daun dipotong sesuai ukuran yang diharapkan dan ijuk pada daun dilepaskan.

Materi saat di Ruangan:
Kami mereplika semua bentuk manuskrip yang ada di Indonesia sebanyak-banyaknya manuskrip ini sangat indah dan juga media-media dan bentuk-bentuknya yang sangat khas dan mempunyai isi yang mempunyai bukti-bukti di naskah-naskah diaplikasikakn secara visual selain manuskrip ada replika dari prastasi selain di tembaga kalau di prastasi tetapi naskah tepatnya di museum sumatera barat
Kebudayaan menyerap ilmu pengetahuan aksara tidak ada leluhur tertanam dinastasi media tidak sehingga setelah aksara dan media ada maka jadilah sebuah karya dan karya itu di bacakan untuk dari generasi ke generasi tetapi karya itu tidak secara baik maka dari itu di ubah menjadi lebih baik artinya tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat di bagi lagi konsep lnguistik ini aksara karena unsur paling kecil dan tidak bisa di bagi aksara tidak dapat di hancurkan itu secara temologi asal usul kata penyimpangan kata periode agama hindu dan budha di bawa oleh india dan di adaptasi dari luhur dan aksara batak, bugis, batak mengalami dari india gelombang ke 2 masuk islam perkenalkan bahasa arab adaptasi bahasa melayu simbol-simbol yang tidak ada di arab misal bunyi eu di arab tidak ada jadi ada eropa masuk ke indonesia mengalami menerjemahkan kitab suci dalam bahasa latin sedikit gambaran umum tentang penggunaan aksara-aksara di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Casparis, J.G. de, 1975, Indonesian palaeografy. A History of writing in Indonesia from the beginnings to c. A D. 1500 Leiden/Koin. Brill. Handbuch der Orientalistik 3.4.1
Roger Tol, Williem van der Molen, Uli Kozok, Henri Chambert-loir (2009). “Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-Jenis Tulisan dalam Sejarah.” In Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, hlm. 309-339. Jakarta: KPG bekerja sama dengan EFEO, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa dan Universitas Padjadjaran.
Thomas M. Hunter (1996) “Ancient Beginnings: The Spread of Indic Scripts” in Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta, New York, Tokyo: The Lontar Fondation & Weatherhill, Inc.
“Aksara “Pustaka” oleh Sudarto HS – Ki Demang Sokowaten.
Hinsler, H. ‘Balinese palm-leaf manuscripts’. Bijdragen tot de Teal, Land-an Volken-kunde, Manuscrpts of Indonesia 149 (1993). No:3. Leiden, hlm.438-73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NAMA BANTARA SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015

BANTARA  SMAN 1 CIWARU TAHUN 2014-2015 Azmi Zukhruf . F Agung Saepudin Deden Darmawan Ika Irawan ...