KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
laporan ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan sahabat – sahabatnya, dan semoga syafa’at-Nya selalu menyertai
kehidupan kita.
Laporan ini saya buat mengenai
penelitian naskah nusantara yang membahas beberapa naskah yaitu cara membuat
dan menulis aksara pada lontar dan daluang, cara membuat kertas daluang, cara
perawatan dan digitalisasi naskah, dan wawancara mengenai Naskah Nusantara.
Saya bertanggung jawab baik dari
tata bahasa, susunan kalimat maupun isi atas laporan penelitian naskah
nusantara yang saya buat. saya selaku penyusun menerima
segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga
laporan penelitian naskah nusantara ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi
wacana yang berguna. Aamiin
ya Robbal Alamin.
Wassalamu ‘alikum waraahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, September 2018
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar
Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................... 3
C. Tujuan
Penelitian .................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................... 4
A. Cara
Membuat dan Menulis Aksara pada Lontar dan Daluang ....... 4
B. Cara
Membuat Kertas Daluang .......................................................... 11
C. Cara
Perawatan dan Digitalisasi Naskah............................................ 15
D. Wawancara
Mengenai Naskah Nusantara ......................................... 20
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 24
A. Kesimpulan
............................................................................................ 24
B. Saran ............................................................................................. 25
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................... 26
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Naskah Nusantara merujuk pada naskah-naskah (manuskrip) peninggalan kebudayaan masyarakat
Nusantara. Naskah-naskah tersebut biasanya "tertulis" pada daun
lontar/nipah, dan daluang, yang berasal dari milenium pertama hingga akhir abad ke-20.
Sebelum manusia mengenal kertas sebagai media menulis, banyak
media yang digunakan untuk mengungkapkan berbagai maksud atau gagasan yang
mereka miliki. Bahan media tulis yang pernah digunakan di berbagai belahan
dunia seperti lempengan tanah liat dari Mesopotamia, perak dan gading dari
Birma, sutera dari Cina, tembaga dari India Selatan, dan kulit binatang yang
digunakan pada penulisan naskah-naskah lbrani (Herman, dkk, 1992/1993: 1). Di
Indonesia, bahan media tulis yang pernah digunakan misalnya di Sumatra selatan
memakai bambu untuk menulis aksara Ka-Ga-Nga (Oktovianny, 2008) dan di Bali
menggunakan daun dari pohon siwalan (Borasus flabelliformis) yang sering
disebut dengan nama lontar (Wirayati, 2013: 1).
Kata lontar berasal dari akar kata ron (daun) dan tal
(pohon), dinamai tal yang berasal dari kata tala dalam bahasa sansekerta untuk
pohon siwalan (Borasus flabelliformis) (Wirayati, 2013: 2). Ketika rontal (daun
dari pohon siwalan) tersebut telah diproses dan menjadi lembaran yang siap
untuk ditulisi maka disebut dengan nama lontar.
Pohon siwalan ini banyak ditemukan di daerah-daerah tropis.
Pohon ini banyak tumbuh di tanah yang mengandung kapur dan daerah pantai Jika
dilihat dari jenis pohonnya, pohon siwalan ini dapat dibagi dua, yaitu pohon
siwalan betina yang dapat menghasilkan buah dan pohon siwalan jantan yang tidak
dapat menghasilkan buah. Dari jenis-jenis pohon siwalan tersebut, terdapat
bermacammacam jenis daun antara lain: a. Rontal taluh, dengan ciri-ciri helai
daunnya cukup panjang
dan lebar, daunnya empuk dan tidak terlalu keras ketika
ditulisi, serta seratnya halus. b. Rontal tanduk, dengan ciri-ciri helai
daunnya kaku dan keras, serta seratnya kasar sehingga sulit untuk ditulisi. c.
Rontal kedis, dengan ciri-ciri seratnya halus, helai daunnya pendek, kurang
lebar dan agak tipis sehingga mudah rusak ketika ditulisi. d. Rontal goak,
dengan ciri-ciri helai daunnya lebar dan panjang, seratnya agak kasar, daunnya
kenyal dan keras jika ditulisi.
Dari keempat jenis daun pohon siwalan tersebut, yang paling
sering digunakan untuk membuat lontar di Bali adalah rontal taluh, karena daun
jenis ini mudah ditulisi. Usia rontal juga dapat dibedakan menjadi tiga
kategori berdasarkan warna daunnya, yaitu: 1. Rontal yang termasuk kategori
muda (disebut dengan busung), memiliki ciri-ciri
daun berwarna hijau muda dan berumur kira-kira 3 bulan. Rontal ini biasanya
dijadikan anyaman seperti tikar, topi, tas, dan juga sering dijadikan bahan
jejahitan untuk upacara panca yadnya di Bali. 2. Rontal yang termasuk kategori
menengah (disebut dengan panyaja), memiliki ciri-ciri daun berwarna hijau tua
dan berumur kira-kira 6 bulan. Rontal taluh yang berusia menengah inilah yang
dijadikan bahan untuk pembuatan lontar.
3. Rontal yang termasuk kategori tua (disebut dengan danyuh), memiliki
ciri-ciri daun berwarna hijau kekuning-kuningan atau kuning seluruhnya dan
berumur kira-kira 1 tahun. Rontal ini biasanya dijadikan sebagai atap darurat
dan juga dijadikan sebagai bahan bakar.
Penulisan pada media lontar merupakan tradisi kuna yang ada
di Pulau Bali. Kebudayaan penulisan lontar berkembang pesat ketika Bali
mengalami zaman keemasan kesusastraan pada pemerintahan Dalem Waturenggong abad
ke 15
Masehi yang didampingi oleh sastrawan bernama Dang Hyang Dwijendra (Ardana, 1996:
23). Pada saat itu, hampir setiap keluarga terkemuka di Bali memiliki naskah
lontar. Aktivitas atau kegiatan menulis dan membaca lontar dilakukan di Geria
dan di Puri, sehingga menjadikan Geria dan Puri sebagai pusat kebudayaan
lontar. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga-keluarga yang memiliki naskah lontar
tersebut adalah keluarga yang terpelajar, dalam istilah Bali
sering disebut dengan anak nyastra. Jumlah naskah-naskah
lontar di Bali yang mencapai ribuan, membuat Bali sering disebut sebagai gudang
manuskrip (naskah kuno) atau filologi alam (Sancaya, 2008: 1). Bahasa yang
digunakan pada naskahnaskah lontar di Bali pada umumnya adalah Bahasa Jawa Kuna
(Kawi), Bahasa Kawi-Bali (Bali Tengahan), dan Bahasa Bali (Suastika, 1996: 20).
Jika dilihat dari daya tahannya, benda budaya dengan jenis
material
organik
seperti manuskrip lontar, tentunya tidak memiliki daya tahan yang kuat terhadap
pengaruh lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan benda budaya yang berasal
dari jenis material anorganik. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan
konservasi yang benar untuk tetap menjaga keawetan naskah lontar tersebut dari
pengaruh lingkungan sekitarnya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas pada laporan ini adalah agar
mengetahui bagaimana cara membuat dan menulis aksara pada lontar dan daluang,
cara membuat kertas daluang, cara perawatan dan digitalisasi naskah serta
wawancara apa yang dibahas mengenai naskah nusantara.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah agar
mahasiswa mampu mengetahui, memahami, mengidentifikasikan serta
mengimplementasikan cara membuat dan menulis aksara pada lontar dan
daluang, membuat kertas daluang,
perawatan dan digitalisasi naskah serta wawancara mengenai naskah nusantara agar
memberikan wawasan budaya warisan melalui seminar dan workshop yang dilakukan
di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Cara Membuat dan Menulis Aksara pada Lontar dan Dalawang
1. Tradisi
Menulis di Atas Daun Lontar
Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai
menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang pengawi atau penyalin
biasanya melakukan ritual kecil untuk memohon anugerah ke hadapan Ida Sang
Hyang Aji Saraswati, sida sidi kasaraswaten. Hakikat menulis adalah
mempraktikkan yoga spiritualitas, mengasah dan mempraktikkan seluruh kemampuan
intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa, serta menjaga irama
pernafasan yang teratur dan jernih.
Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini
menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di
tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya),
(3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar sebagai
bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur
kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai
meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu
menghasilkan urut-urutan aksara Bali
yang lurus, rapi dan bersih), (7)
panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau
kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9)
dan sesajen seperlunya. Jenis pangrupak
yang dipakai menggores lontar disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulisan;
yaitu: pangrupak dengan kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak dengan kelancipan 70 derajat untuk
membuat prasi (menggambar di atas daun
lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang lebih 10 derajat),
lebar, dan tajam untuk memotong rontal.
Cara menulis di atas daun lontar berbeda dengan di atas kertas. Demikian juga
menggunakan pangrupak berbeda dengan cara menggunakan pisau dapur
atau alat pertukangan lainnya. Pangrupak memiliki tiga
mata sisi yang tajam untuk menghasilkan karakter aksara Bali ideal, yaitu
aksara Bali yang memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran
(bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing pangrupak juga memakai
hiasan, ada yang menyerupai pendeta, patung hanoman, burung merak, aksara Ongkara, dan yang
lainnya. Menulis di atas daun lontar
menggunakan pangrupak, memerlukan
keterampilan menulis yang khusus, yang berkaitan dengan posisi tangan saat
menggores lontar. Tangan kiri berada di posisi bawah untuk mengalasi atau
memegang lontar, sedangkan tangan kanan berada di posisi atas memegang
pangrupak seraya menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa. Ibu jari
dan jari tengah tangan kanan menjepit
lembut pangrupak, telunjuk menekan halus saat menggoreskan bentukan aksara.
Jempol kiri bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan
lontar ke arah kanan. Dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis dan
kelingking, membantu menjaga kestabilan dan berfungsi mensuplai energi
kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah.
Dalam menggoreskan aksara Bali dari kiri ke kanan harus dicermati
ruang-ruang diantara tiga lubang yang ada di kiri, tengah, dan kanan. Terdapat
empat garis yang tersedia di atas rontal. Mulailah menulis dari garis yang
memiliki ruang paling sempit, dengan
aksara digantung pada garis yang telah disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di
antara garis-garis yang tersedia. Berkosentrasi dan menciptalah dengan perasaan
halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol aksara yang pertama sangat
mempengaruhi besar kecil dan kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah
hati, cerdaskan intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang
teratur. Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekalikali
nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang dibuat. Irama yang
mengkhusukkan.
2. Proses
Pembuatan Lempiran Lontar
Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar
mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama,
sampai berabad-abad. Bagi masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu
(kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir
dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasar-dasar
budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar
Bali dibuat dengan cara yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan
kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana
yang khusuk, sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai. Penulisan prosesi daun lontar ini disajikan
berdasarkan pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar dan
berdasarkan bahan bacaan yang ada.
Daun lontar atau lempiran yang dimaksud berbentuk blanko,
dihasilkan melalui proses khas teknologi tradisi Bali, selempir demi selempir
sehingga menghasilkan pepesan. Satu
bendel terdiri dari 100 lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap
ditulisi. Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu yang relatif
lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Tujuannya adalah mendapatkan
mutu lempiran yang baik, bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi,
serta bentuknya indah dan rapi. Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan,
seniman lontar perlu memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik
daunnya. Pohon rontal yang baik adalah yang telah berumur lebih dari 30 tahun.,
Pohon tersebut harus tumbuh di tanah yang mengandung kapur, tanah bebatuan
seperti tanah lahar, tanah di tepi laut, yang mendapat sinar matahari langsung
dari pagi hingga sore. Pohon itu juga sudah pernah disadap niranya, sehingga
tidak banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah yang subur,
daunnya kurang baik dibuat pepesan karena tebal, berserat besar-besar dan
kaku. Masyarakat Bali membedakan pohon
rontal atas dua jenis, yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah
atau tuak (nira) dan rontal muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah. Rontal
muani berbunga tetapi bunganya tidak pernah menjadi buah. Demikian pula jenis
dan kualitas daun pohon rontal berbeda-beda. Pohon rontal yang daunnya luwes, kenyal, serat
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012 162
halus disebut ron tal taluh (telor). Pohon yang daunnya
tebal berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal belulang.
Sedangkan pohon yang helai daunnya panjang dan lebar disebut dolog (menyerupai
senjata dolog, yaitu sejenis golok yang panjang). (pohon rontal, pohon lontar, pohon
tal) Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan berkatagori panyaja
(muda atau menengah). Usia daun tal penyaja diketahui dari kategori hijau
daunnya juga ditandai dari posisi kecondongan pelepahnya yang kurang lebih 45
drajat, dengan semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering). Sedangkan
lontar yang masih muda berupa busung (janur) ataupun yang sudah berupa
danyuh/wayah (tua) tidak dapat dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan. Pemetikan
daun tal untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah yang ujungnya memakai pisau). Daun tal yang
berbentuk kipas kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja, tidak
lebih dari empat sampai enam helai setiap satu pelepah daun tal. Mengingat daun
tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua helai dalam satu lidi, maka
agar benar-benar kering seperti yang diinginkan, tentu proses pengeringannya
memakan waktu yang cukup lama. Daun tal harus dijemur di tempat yang
terang beberapa kali, sehingga
benar-benar renyah (kering benar). Musim petik daun tal yang baik pada sasih
kasanga - kadasa (seputar bulan Maret - April), yang disebut kreta masa, dan
sasih katiga-kapat (seputar bulan September - Oktober), yang disebut gegadon.
Bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat matahari bersinar panas dan langit
terang benderang. Daun tal petik kering
yang dipilih untuk pepesan adalah yang bilahnya panjang, lebarnya sesuai, permukaan rata tidak tuludan
(berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai daunnya
tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Bilah daun tal petik kering dipotong
ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang tertentu sesuai dengan keperluan.
Ngesit (melepas lidi) dilakukan secara hati-hati agar bilah daun lontar kering
petik tidak amis (rusak). Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit
(dilepaskan lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa, kemudian kakum
(direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air kum berwarna keruh
kekuningan dan berbau kurang sedap sehingga harus diganti setiap hari, pagi,
dan sore. Pada minggu kedua dan ketiga
air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga benar-benar bersih, tidak
berbuih, dan tidak berbau lagi. Ngekum (merendam) daun tal kering petik dengan
tujuan menghilangkan sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai
rayap. Tiga minggu prosesi ngekum tal
telah berlalu. Daun tal diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan
sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga dipastikan
benar-benar kering. Dua hari dua malam diangin-anginkan untuk tiga bulan
kemudian baru direbus. Merebus daun tal
kering petik memerlukan panci besar, tunggu, kayu api, dan air yang cukup dan
harus dijaga dengan saksama. Ramuan bahan pengawet seperti kulit pohon kayu
intaran, kayu wong, kulit pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun
sambiroto, umbi gadung diparut.
Rempah-rempah seperti: lada, merica, jebug harum, dan jebug (buah pinang
yang tua) semua dirajang dan kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk. Bahan-bahan itu
digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus. Saat perebusan, setiap
kali air rebus menyurut petugas harus menambahkan air secukupnya,
berulang-ulang hingga lima sampai enam
jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun tal yang dianggap telah masak
jangan langsung diangkat. Biarkan agar dingin dengan sendirinya. Setelah dingin, angkat dan segera jemur di
tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh. Agar lebih cepat kering,
lontar dibolak-balik selembar demi selembar. Setelah merata kering, diangkat
perlahan-lahan agar tidak pecah, kemudian
dayuhin (diangin-anginkan) di tempat yang teduh. Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar
lontar disatukan, diikat ujung, tengah dan pangkalnya, lalu simpan di tempat
yang aman, terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa panas berlebihan. Lama
menyimpan tiga-empat bulan, dan semakin lama disimpan kualitasnya semakin
membaik. Blagbag, pres tradisional untuk
lontar yang dibuat dari kayu dengan menggunakan pasak. Alat ini digunakan untuk
meluruskan dan memampatkan serat dan rongga-rongga yang kemungkinan masih
terdapat pada lontar setelah proses pengeringan. Caranya, daun lontar yang
telah direbus dan disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjepit blagbag
secara teratur sesuai dengan panjang lontar masing-masing. Setelah berjumlah
seratus, disela dengan penampang kayu (pandalan), demikian juga selanjutnya
hingga penuh, sesuai kapasitas blagbag, kemudian pasak dipasang. Setelah
beberapa hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun akan menjadi longgar,
sehingga harus disela dengan pandalan dan dipasak kembali hingga mampat. Proses
ini dilakukan berminggu-minggu, kadang berbulan-bulan, hingga rontal
benar-benar lurus dan rata. Pembuatan
lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal yang dibuat dari daun tal dengan
panjang dan lebar yang telah ditetapkan, lalu diisi lubang sebasar jarum. Mal
ditempal di atas daun tal, jarum pirit
(paser tradisional Bali) ditusukkan pada tengah-tengah lubang kecil mal yang di
kiri, kanan, dan tengah. Mirit artinya melubangi lontar di samping kiri, kanan,
dan tengah tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang)
dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak mudah bergerak saat diiris dan dirapikan
pinggirannya. Langkah berikutnya dalam
proses pembuatan lontar adalah nepes
(menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris). Nepes adalah pres
terakhir lontar tepesan, nyerut adalah merapikan ujung pangkal dan diisi cat
tradisional Bali agar kelihatan indah
dan rapi. Sedangkan nyepat adalah
pembuatan lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis
tradisional Bali).
Kesimpulan Lontar
sebagai manuskrip masyarakat Bali telah mengangkat citra tradisi peradaban Bali
di tengah-tengah intelektualitas peradaban dunia. Manuskrip lontar adalah
produk budaya Bali yang kaya makna dan memberikan citra keluhuran dan
keunggulan jagat pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Warisan dan
tradisi lontar telah berusia cukup tua. Di Bali banyak dijumpai lontar yang
berumur tua yang memiliki nilai sejarah, filsafat, agama, pengobatan, sastra,
dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya. Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut
dari generasi ke generasi. Sebagai tradisi yang hidup, manuskrip masyarakat
Bali ini didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup, kegiatan penulisan
lontar yang masih berlangsung, kegiatan pembacaan yang masih semarak, dan
penelitian teks naskah lontar yang
semakin meningkat. Sebagai warisan budaya, manuskrip lontar di Bali memiliki
karakter antara lain: (a) warisan budaya intelektual (intellectual heritage), (b) tradisi yang masih hidup (living
tradition), (c) mudah dipindahkan (moveable), (d) memiliki wujud fisik
(tangible) dan non-fisik (intangible), (e) memiliki fungsi dan kedudukan
terhormat atau disucikan oleh masyarakat Bali (abstract), dan (g) menjadi salah satu warisan budaya dunia
(world heritage). Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan
penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa, sastra dan aksara
Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini menyiapkan
bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di
tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua
sisinya), (3) serbuk tingkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar
sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan
kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar)
sebagai meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin
akan mampu menghasilkan urut-urutan
aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7)
penakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau
kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9)
dan sesajen seperlunya. Lontar terbuat
dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa,
dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi
masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati
sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang
penulis citrakan tidak lepas dari dasardasar budaya dan keyakinan masyarakat
Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara yang
saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan kesabaran yang
tinggi, dan dalam suasana yang khusuk,
sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
B.
Cara Membuat Kertas Dalawang
Pembuatan
Kertas Daluang bahwa bahan baku pembuatan daluang terdiri dari bebeapa jenis
pohon kayu, seperti pohon saeh, beringin putih, beringin hijau, waru, tisuk dan
lain-lain dengan prinsip setiap pohon yang memiliki fuya (lendir) yang baik 17. Namun yang paling baik untuk
digunakan sebagai bahan pembuatan kertas adalah kulit pohon saeh karena
mengandung lendir dan serat yang baik. Dari hasil pengamatan langsung pembuatan
kertas daluang diperoleh urutan-urutan sebagai berikut :
a.
Menebang dan memilih batang pohon saeh
yang baik. Kategori batang pohon yang baik digunakan untuk pembuatan kertas
daluang adalah batang pohon yang diameternya sekitar 7 s/d 10 cm. Batang yang baik berupa batang yang
tidak memiliki benjolan atau lubang, baik bekas luka sayatan maupun bekas dahan
yang terpotong. Jika pada batang terdapat benjolan atau lubang bekas dahan yang
dipotong, akan memunculkan tekstur kertas yang tidak rata atau berlubang. Hal
ini akan berakibat 17 Ajip Rosidi dkk, Konferensi Internasional Budaya Sunda
(KIBS) : Prosiding (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2006), 443. pada
tesktur kertas yang kurang halus karena akan terbentuk bekas tambalan. Usia
batang pohon yang baik dengan diameter tersebut berusia sekitar dua sampai tiga
tahun. Jika terlalu tua agak sulit ketika dipukul karena kulit kayu cenderung
telah keras karena usia. Jika terlalu muda, kertas cenderung mudah sobek karena
jalinan seratnya tidak kuat. Perlu juga diamati bagian dalam dari kulit pohon
jika sudah dikupas karena kayu saeh sering dimakan ulat sehingga memunculkan
luka pada bagian dalam kulit kayu dengan warna merah cenderung kecoklatan
bahkan hingga berlubang.
b.
Memotong dan membuang kulit ari dari
batang sesuai keinginan ukuran kertas yang akan dibuat. Proses pembuangan kulit
ari sebenarnya dilakukan setelah kulit kayu telah dilepaskan dari kayunya.
Tetapi menurut aki Maman, pengupasan atau pembuangan kulit jika telah
dilepaskan dari kayunya cenderung lebih sulit dan kurang merata. Karenanya aki
Maman berinisiatif untuk mengupas kulit ari terlebih dahulu sebelum kulit kayu
dilepaskan dari kayunya. Teknik mengupas kulit ari bisa dilakukan dengan dua
cara; pertama dengan mengerik kulit ari dengan pisau yang tidak terlalu tajam.
Tujuannya agar serat bagian dalam tidak ikut terbawa ke dalam hasil kerikan,
kedua dengan meraut kulit ari dengan pisau raut yang tajam. Hasilnya berupa
kulit bagian dalam yang bersih cenderung putih.
c.
Menguliti kulit pohon dari batangnya
(setelah dibuang kulit arinya). Teknik menguliti kulit kayu dengan menorehkan
mata pisau secara tegak lurus (jangan sampai belok arah). Jika terjadi
pembelokan arah mata pisau akan menghasilkan sayatan pinggir yang tidak rata
dan hal ini akan menghasilkan
kertas yang tidak persegi. Setelah pisau ditorehkan secara tegak lurus,
kemudian ujung sayatan dicongkel dengan mata pisau dan kemudian dikupas dengan
tangan secara hati-hati agar kulit kayu tidak sobek. Sobekan pada kulit kayu
akan menghasilkan tekstur kertas yang bergelombang akibat proses penyambungan
atau penambalan.
d.
Merendam kulit pohon yang telah dikuliti
selama satu malam atau lebih. Perendaman dilakukan dengan menggunakan air
bersih dengan media yang memadai agar kulit kayu tidak terlipat. Bejana untuk
merendam sebaiknya yang tidak berbahan baku dari logam karena logam sedikit
ataupun banyak akan mempengaruhi kwalitas warna kertas.
e.
Memukul kulit pohon yang telah selesai
di rendam hingga melebar. Alat pukul yang digunakan adalah dua lempengan
kuningan dengan glasiran lurus yang berbeda. Lempengan pertama dengan glasiran
yang lebih kasar/besar (sekitar 2mm) dan lempengan kedua dengan glasiran yang
lebih halus/rapat sekitar 1mm. Fungsi keduanya berbeda. Lempengan dengan
glasiran 2mm untuk pemukulan tahap awal. Fungsinya untuk mempermudah penguraian
serat kulit kayu sementara yang lebih halus (1mm) fungsinya untuk menghaluskan
hasil pukulan. Lempengan kuningan tersebut diberi gagang/grip dari rotan agar
kelenturan dari rotan dapat menghasilkan tekanan yang keras walaupun tanpa
ayunan yang keras. Panjang grip antara 30 hingga 40 cm. Pemukulan kulit kayu
dilakukan diatas bantalan dari kayu yang keras (pohon nangka atau pohon asam
yang sudah tua) yang telah dipapas dan dihaluskan secara merata. Bantalan harus
betulbetul halus dan datar merata karena akan mempengaruhi tekstur kertas yang
dihasilkan. Pemukulan dilakukan secara terus menerus hingga kulit kayu menjadi
tipis. Dalam ukuran umumnya, pemukulan dilakukan hingga lebar kulit kayu
bertambah hingga menjadi tiga kali lipat. Jika kulit kayu lebar asalnya 10cm,
maka pemukulan harus terus dilakukan hingga lebarnya mencapai 30cm. Namun
ukuran tersebut tidak mutlak, karena ketebalan kulit kayu tiap potongan akan
berbeda ketebalan awalnya. Semakin ke pucuk, kulit kayu akan semakin tipis.
f.
Memeram hasil dengan cara dibungkus
dengan daun pisang. Teknik pemeraman dilakukan dengan cara melipat hasil
pukulan dan dibungkus dengan daun pisang selama satu malam atau lebih. Hasil
pemeraman berupa keluarnya lendir dari kulit kayu (fuya) dan kulit kayu menjadi
sangat lunak. Menurut informasi dari pak Zaki, pemegang otoritas situs
Cangkuang, pemeraman sangat berpengaruh pada hasil warna kertas. Pemeraman yang
singkat (satu hari) akan menghasilkan warna kuning cerah, sementara pemeraman
yang lebih lama akan menghasilkan warna kertas yang kuning cenderung coklat
muda. Sebagai informasi, pak Zaki memperoleh pengetahuan pembuatan kertas
daluang dari aki Maman dan terus melakukan penelitian terhadap daluang agar
memperoleh hasil yang serupa dengan kertas daluang yang diproduksi tempo dulu
karena menurut beliau, kwalitas hasil rekayasa masa kini masih belum serupa
dengan kertas hasil produksi masa lalu.
g.
Jika kertas yang dihasilkan dianggap
kurang tipis, maka dilakukan pemukulan kembali sampai tercapai ketipisan yang
dikehendaki. Jika kertas yang ingin dibuat diperuntukan sebagai alas tulis,
maka diupayakan setipis mungkin, sementara jika diperuntukan sebagai sampul
maka kertas dibuat lebih tebal.
h.
Pencucian dengan air bersih. Ada dua
model proses pencucian ini. Pertama, pencucian dilakukan dengan terlebih dahulu
merendam kertas selama satu malam di dalam air bersih. Kedua, mencuci langsung
tanpa harus merendam terlebih dahulu.
i.
Menempelkan hasil cucian pada bidang
yang rata dan licin. Ada dua model bidang yang digunakan, yaitu bidang datar
dan bidang bulat. Bidang datar dapat menggunakan bahan seperti papan yang telah
dihaluskan atau kaca, sementara bidang bulat dapat menggunakan batang pohon
pisang yang telah dikupas beberapa helai kulitnya. Batang pisang bagian dalam
yang basah dan licin ini akan menghasilkan tekstur kertas yang halus.
j.
Pengurutan serat kertas pada bidang
diatas supaya rata dan rapi. Pengurutan dilakukan secara hati-hati karena kulit
kayu telah menjadi sangat lunak. Pengurutan dilakukan pada media atas tersebut,
yakni media datar ataupun media bulat.
k.
Menjemur hasil pengurutan di bawah terik
matahari hingga kering tanpa melepaskan media. Setelah kering, kertas
dilepaskan dari media penjemuran. Teknik melepaskan kertas dari media
penjemuran adalah dengan cara mengangkat kertas secara perlahan dan hati-hati.
Karena media penjemuran merupakan bidang yang halus dan licin, maka kertaspun
akan dengan mudah terlepas dari media penjemuran, tetapi jika media penjemuran
kurang halus dan licin, maka kertas seringkali menempel rapat dan agak sulit
dilepaskan.
l.
Merapikan bagian pinggir kertas dengan
memotong sesuai ukuran yang diinginkan atau peruntukan.
C.
Cara Perawatan dan Digitalisasi Naskah
Digitalisasi merupakan sebuah upaya penyelamatan
naskah-naskah kuno dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti softfile,
foto digital, microfilm atau microfiche serta mengupayakan, baik naskah asli
maupun naskah duplikatnya dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama
(Sakamoto, 2003). Dengan demikian, digitalisasi merupakan bagian dari
konservasi yang berupaya menyelamatkan naskah dari kemusnahan.
a. Pencegahan
Kerusakan Naskah
Usaha-usaha
untuk melakukan pencegahan kerusakan bahan pustaka dilakukan dengan cara-cara
berikut :
1) Cara
Pencegahan yang Disebabkan oleh Faktor Biologi
Kerusakan
yang disebabkan oleh faktor biologi biasanya disebabkan oleh jamur, serangga
dan binatang pengerat.
a) Pencegahan
yang disebabkan oleh jamur yaitu :
1.
Melakukan
pemeriksaan dalam usaha pencegahan kehadiran jamur, yaitu melakukan pemeriksaan
dalam kelembaban ruangan atau tempat penyimpanan bahan pustaka;
2.
Pemberian
obat anti jamur pada sampul buku;
3.
Menjaga
kebersihan buku dari kotoran;
4.
Menjaga
bahan pustaka dari kehadiran debu;
5.
Tidak
menggunakan perekat yang mengandung omlyum
untuk menjilid, sebaiknya untuk menjilid digunakan bahan sintesis seperti polyvinyl acetat;
6.
Suhu
ruangan diatur sedemikian rupa sehingga jamur tidak berkembang biak di dalam
buku.
b) Pencegahan
kerusakan yang disebabkan oleh serangga yaitu:
1.
Penyemprotan
dengan menggunakan bahan insektisidan (bahan
pembasmi serangga), penggunaan sistem pengumpanan, penuangan larutan racun ke
dalam lubang;
2.
Penaburan
kapur barus pada rak-rak buku secara berkala.
2) Cara
Pencegahan yang Disebabkan oleh Faktor Fisika
Temperatur dan kelembaban yang ideal bagi bahan pustaka
dan arsip adalah 20-24oC. Satu-satuya cara untuk mendapatakan
kondisi yang ideal adalah memasang suhu pengatur udara Air Conditioner (AC). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha
pencegahan dengan cara penggunaan AC harus dilakukan dalam 24 jam yang
ruangannya harus selalu tertutup.
Ada dua macam cahaya yang digunakan untuk penerangan
perpustakaan, yaitu cahaya matahari dan cahaya lampu listrik. Dalam cahaya ini
mengandung sinar ultra violet yang dapat merusak bahan pustaka. Cahaya matahari
yang masuk ke dalam ruangan, baik yang langsung atau pantulan harus dihalangi
dengan kain gorden atau disaring dengan filter untuk mengurangi radiasi
ultraviolet.
3) Cara
Pencegahan yang Disebabkan oleh Faktor Kimia
Upaya pencegahan dan perbaikan yang telah mengalami
kerusakan, seperti menetralkan asam yang terkandung dalam kertas dengan
deasidifikasi atau memberi bahan penahan (buffer).
Cara lainnya yaitu menyimpan dan menata kertas dan buku dalam lemari kaca atau
untuk kertas lembaran disimpan dalam kotak-kotak karton bebas asam, dan dengan
memilih bahan pustaka yang baik dengan teliti perlu dilihat jelas jenis kertas
dan tulisan.
4) Cara
Pencegahan yang Disebabkan oleh Faktor Manusia
Manusia merupakan perusak utama yang sangat berbahaya dan
hal ini tidak disadari oleh pemustaka maupun pustakawan. Upaya yang dilakukan
adalah :
1.
Memberi
informasi mengenai cara-cara memperlakukan bahan pustaka;
2.
Tidak
membawa makanan dan minuman kedalam perpustakaan;
3.
Dilarang
mencoret-coret atau melipat buku secara sembarangan;
4.
Dipasang
peraturan penggunaan bahan pustaka;
5.
Menyediakan
copy naskah asli untuk dibaca oleh pemustaka;
6.
Memberi
saran tentang perbaikan mutu kertas kepada pabrik kertas;
7.
Memberi
penyuluhan kepada staf perpustakaan;
8.
Penyempurnaan
teknik penjilidan dan membatasi penggunaan bahan pustaka yang langka dan
bernilai tinggi.
5) Cara
Pencegahan yang Disebabkan oleh Faktor Lain
Beberapa cara yang dapat dilakukan: Kesiapan menghadapi
bencana alam bermula dari perencanaan yang matang terhadap lokasi perpustakaan,
artinya bahwa gedung perpustakaan tidak didirikan pada tempat yang selalu
banjir, lingkungan perumahan yang padat, terhindar dari jangkauan letusan
gunung berapi disamping itu pula hindari mendirikan perpustakaan yang letaknya
dekat dari bibir pantai. Untuk mencegah terjadinya kebakaran dapat diambil
tindakan, seperti: periksa jaringan kabel listrik terhadap gedung secara
berkala, siapkan alat pemadam kebakaran, dilarang merokok di ruang perpustakaan
serta siapkan sirene dan smoke detector di setiap ruang perpustakaan.
b. Konservasi
Naskah
Aktivitas
konservasi naskah terdiri atas 5 komponen, yaitu :
1)
Preventive
conservation ialah tindakan langsung atau tidak dalam mengoptimalkan kondisi
lingkungan untuk memperpanjang umur koleksi, yaitu berkaitan dengan kebijakan
2)
Seperti
mencakup pelatihan, membangun kesadaran dan staf yang profesional;
3)
Passive
conservation merupakan kegiatan yang berhubungan langsung atau tidak untuk
memperpanjang umur koleksi seperti kebersihan udara, penggunaan ac, dengan
melakukan survei terhadap kondisi fisik koleksi;
4)
Active
conservation merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan koleksi, seperti menyampul koleksi,
membersihkan koleksi, menghilangkan asam;
5)
Restoration
merupakan tindakan untuk memperpanjang umur koleksi dengan memperbaiki
penampilan koleksi mendekati keadaan semula sesuai dengan aturan dan etikanya;
dan
6)
Digitalization,
yaitu sebuah tindakan untuk melakukan pembuatan salinan naskah kuna berbasiskan
teknologi digital (bdk. Tygeler, 2001; wirajaya, dkk, 2015).
c. Tahapan-Tahapan
Digitalisasi Naskah
Tahapan-tahapan digitalisasi naskah yang dapat dilakukan adalah
:
1)
Melacak
atau menginventarisir naskah-naskah kuna yang tersimpan dalam berbagai koleksi,
baik koleksi lembaga / instansi maupun koleksi pribadi;
2)
Mendeskripsikan
naskah sesuai dengan model penelitian kodikologi (proses katalogisasi);
3)
Melakukan
pengambilan gambar secara digital dengan menggunakan kamera DSLR;
4)
Menyiapkan
hasil pemotretan yang akan dijadikan master naskah (dalam format RAW);
5)
Mengolah
hasil pemotretan dengan software yang mampu mengubah file RAW-TIFF-JPEGPDF
(membuat e-naskah);
6)
Membuat
Web Design;
7)
Mengunggah
e-naskah ke server yang telah disiapkan; dan
8)
Siap
untuk diakses oleh pengunjung atau peneliti (Wirajaya, 2010).
d. Upaya
Penyelamatan yang Dilakukan Secara Swadaya tanpa Menunggu dan Mengandalkan Dana
dari Pemerintah
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan
proses digitalisasi naskah. Dengan digitalisasi naskah, diharapkan akan dapat
menjadi alternatif penyelamatan naskah di tengah kurangnya perhatian dari
pemerintah. Setidaknya, melalui proses digitalisasi yang dilakukan, pemilik
naskah sudah berperan serta dalam penyelamatan naskah. Dengan demikian, apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap naskah aslinya, maka pemilik
dapat membuat naskah repro dari hasil printing softfile yang telah dimilikinya,
baik dalam bentuk CD, DVD maupun Blueray. Selain itu, dengan adanya proses
digitalisasi tersebut, keberadaan naskah tidak akan banyak “terganggu” oleh
peneliti pemula atau pembaca awam yang tidak mengerti etika dan tatacara
penanganan naskah kuna. Di sisi lain, dengan selesai dilakukannya proses
inventarisasi, deskripsi, dan digitalisasi naskah-naskah kuna yang masih
tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi tersebut, maka keberadaan naskah-naskah
tersebut akan segera diketahui oleh para mahasiswa calon peneliti, pemerhati,
peminat, dan peneliti. Dengan demikian, diharapkan akan segera lahir penelitian-penelitian
baru yang dapat memberikan kontribusi positif bagi alternatif solusi
permasalahan pembangunan bangsa.
D.
Wawancara Mengenai Nakah Nusantara
Wawancara yang dilakukan saat berada di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia adalah mengenai usaha perbaikan naskah, untuk
memperbaiki koleksi bahan pustaka yang rusak diperlukan suatu usaha atau
tindakan perbaikan, usaha tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menambal
dan Menyambung Kertas
Kegiatan ini bermanfaat untuk mengisi lubang-lubang dan
bagian yang dihilangkan pada kertas atau menyatukan kembali kertas yang robek
akibat bermacam-macam faktor perusak. Kerusakan tersebut dapat diperbaiki
dengan menambalnya. Ada dua jenis penambalan bahan pustaka diantaranya, yaitu:
penambalan kertas karena berlubang dan penambalan kertas karena robek
memanjang.
Kertas berlubang yang disebabkan oleh larva kutu buku,
jika terlalu parah dapat dilakukan dengan menutup lubang-lubang tersebut dengan
bubur kertas. Sedangkan penambalan kertas yang robek memanjang dapat dilakukan
dengan cara penambalan menggunakan kertas Jepang (sejenis kertas untuk
laminasi), dan penambalan dengan kertas tisu (heat tissue paper). Menambal dengan kertas Jepang dilakukan jika
ada halaman buku yang robek, baik robeknya lurus maupun tidak lurus. Sedangkan
penambalan dengan kertas tisu (heat
tissue paper), apabila kertas yang diperbaiki mengkilap. Kertas tisu ini
tampilannya sudah “nerawang” ada lemnya yang hanya dapat menempel jika
dipanasi. Kertas tisu (heat tissue paper)
ini sudah tidak digunakan lagi, karena mengandung keasaman yang sangat tinggi.
Kertas yang umumnya sekarang digunakan adalah kertas tisu washi (dari Jepang) atau kertas buatan tangan (handmade paper), dari Indonesia daluang yag kini sudah dapat
diproduksi dalam negeri.
2. Laminasi
Laminasi adalah suatu kegiatan melapisi bahan pustaka
dengan kertas khusus, agar bahan pustaka menjadi lebih awet. Proses keasaman
terjadi pada kertas dapat dihentikan oleh pelapis kertas yang terdiri dari film
oplas kertas cromton atau kertas pelapis lainnya. Pelapis kertas ini menahan
polusi debu yang menempel di bahan pustaka, sehingga tidak beroksidasi dengan
pollutan.
Biasanya kertas dan dokumen yang dilaminasi adalah kertas
yang sudah tua berwarna kuning, berwarna cokelat, berbau apek, kotor, berdebu.
Oleh karena itu laminasi sangatlah penting guna melindungi kertas dari
kerusakan yang lebih parah. Beberapa jenis laminasi, yaitu teknik laminasi
dengan tangan biasa disebut kath palia process, laminasi dengan mesin dengan
cara panas, laminasi dengan manual. Dalam melaminasi kertas perlu ketelitian
dan kehati-hatian yang sangat exstra dan tidak boleh sembarangan, harus
dipikirkan bagaimana caranya agar kertas tidak menjadi rusak oleh bahan
pelapis.
3. Enkapsulasi
Salah satu usaha perbaikan bahan pustaka selain laminasi
ialah enkapsulasi. Enkapsulasi adalah cara melindungi kertas dari kerusakan
yang bersifat fisik. Pada enkapsulasi setiap lembar kertas diapit dengan cara
menempatkannya di antara dua lembar pelastik yang transparan, sehingga
tulisannya tetap dapat dibaca dari luar. Jenis-jenis kertas yang akan
dienkapsulasi ini adalah kertas lembaran seperti naskah kuno, peta, bahan
cetakan atau poster; Peralatan atau bahan yang dibutuhkan dalam proses ini
adalah gantungan kecil atau besar, alas dari plastic tebal yang dilengkapi
dengan garis-garis yang berpotongan tegak lurus untuk mempermudah pekerjaan,
sikat halus film plastik polyester, pisau,
pemotong (cutter), double sided tape 3M, pemberat,
kertas, penyerap bebas asam dan lembaran kaca.
4. Deasidifikasi
Desasifikasi adalah kegiatan pelestarian bahan pustaka
dengan cara menghentikan proses keasaman yang terdapat pada kertas. Dalam
proses pembuatan kertas, ada campuran zat kimia yang apabila zat tersebut
terkena udara luar, membuat kertas menjadi asam.
Proses deasidifikasi ini merupakan cara yang hanya dapat
menghilangkan asam yang sudah ada dan melindungi kertas dari kontaminasi asam
dari berbagai sumber; deasidifikasi tidak dapat memperkuat kertas yag sudah
rapuh. Alat-alat yang disebutkan di atas diperlukan untuk menentukan sifat asam
atau basa suatu bahan, dengan memakai ukuran derajat keasaman yang disingkat
pH. Asam mempunyai pH antara 0-7 dan basa antara 7-14, pH 7 adalah normal atau
netral. Kalau pH kertas lebih dari 7, berarti kertas tersebut sudah bersifat
asam,jika pH kertas berada antara 4-5, ini menunjukkan kondisi kertas ini sudah
parah. Untuk mengetahui derajat keasaman pada suatu kertas, satu titik pada
permukaan kertas dibasahi dengan air suling, kemudian pH nya diukur dengan pH
meter atau kertas pH. Dalam melakukan deasidifikasi, kita harus hati-hati
karena deasidifikasi terlalu besar akan menyebabkan kertas menjadi rusak.
5. Alih
Media/Bentuk
Dalam mengatasi
kekurangan tempat atau ruangan di perpustakaan dan juga melestarikan informasi
dari buku-buku yang sudah lapuk, maka diperlukan alih bentuk dokumen. Cara
perawatan dengan alih bentuk yaitu pada buku-buku yang telah rapuh. Dan buku
itu amat berharga, buku ini hanya ada satu kopi, sedangkan dipasaran sudah
tidak mungkin didapat seperti Undang-Undang Naskah asli, buku-buku langka, dan
lain-lain yang bernilai sejarah. Maka dengan menyelamatkannya dengan cara alih
bentuk.
Pelestarian koleksi
perpustakaan melalui pengalihan ke dalam bentuk mikrofilm ataupun CD bertujuan
selain untuk penyelamat, pengamatan, juga ternyata dapat menghemat tempat,
waktu dan tenaga, menghemat biaya pemeliharaan dan penyebaran, serta
mempermudah pencarian kembali. Alih bentuk yang terkenal adalah bentuk mikro
atau lazim disebut dengan mikrofilm. Mikrofilm ini merupakan bentuk lain dari
bahan tercetak seperti buku, majalah atau surat kabar. Bentuk mikro dapat
berupa gulungan mikrofilm, mikrofis, aperture
card, ultrafis, dan mikroopaque.
6. Penjilidan
Untuk buku-buku yang telah mengalami kerusakan, perlu
segera dilakukan penjilidan ulang, agar nilai informasi yang ada didalamnya
tidak hilang, sehingga buku yang telah diperbaiki dengan penjilidan ulang tersebut
dapat dimanfaatkan kembali oleh pengguna perpustakaan. Pada dasrnya penjilidan
merupakan pekerjaan menghimpun menggabungkan lembaran-lembaran yang lepas
menjadi satu, yang dilindungi oleh ban atau sampul. Agar penjilidan dapat awet
terhadap penggunaan yang tinggi di perpustakaan, diperlukan struktur penjilidan
yang kokoh dan kuat agar bhan pustaka tidak mudah cepat rusak. Oleh karena itu
untuk kepentingan bahan pustaka selain struktur jilidan yang kuat juga
diperlukan bahan-bahan jilidan yang berkualitas baik atau permanen.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini
menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di
tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua
sisinya), (3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar
sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur
kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai
meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu
menghasilkan urut-urutan aksara Bali
yang lurus, rapi dan bersih), (7)
panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau
kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9)
dan sesajen seperlunya.
Dari hasil
pengamatan langsung pembuatan kertas daluang diperoleh urutan-urutan sebagai
berikut : Menebang dan memilih batang pohon saeh yang baik, memotong dan
membuang kulit ari dari batang sesuai keinginan, menguliti kulit pohon dari
batangnya (setelah dibuang kulit arinya), merendam kulit pohon yang telah
dikuliti selama satu malam atau lebih, memukul kulit pohon yang telah selesai
di rendam hingga melebar, memeram
hasil dengan cara dibungkus dengan daun pisang, jika kertas yang dihasilkan dianggap
kurang tipis, maka dilakukan pencucian dengan air bersih, menempelkan hasil
cucian pada bidang yang rata dan licin, pengurutan serat kertas pada bidang
diatas supaya rata dan rapi, menjemur hasil pengurutan di bawah terik matahari
hingga kering, merapikan bagian pinggir kertas dengan memotong sesuai ukuran
yang diinginkan atau peruntukan.
Untuk memperbaiki koleksi bahan pustaka yang rusak
diperlukan suatu usaha atau tindakan perbaikan, usaha tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut: a. Menambal dan menyambung kertas; b. Laminasi; c. Enkapsulasi;
d. Deasidifikasi; e. Alih media/bentuk, f. Penjilidan.
B. Saran
Perpustakaan Nasional perlu mengadakan optimalisasi upaya
penyebaraninformasi. Dilakukan tidak hanya melalui katalog web, buku, pameran
naskah, tetapi melalui penyebaran fotocopy naskah.
Perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas sumber
daya manusia baik di bagian layanan koleksi naskah maupun di bagian preservasi
bahan pustaka, supaya pada saat penanganan kerusakan dapat lebih terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Agastia, IBG (1985). Keadaan dan
Jenis-Jenis Naskah Bali.
Yogyakarta:
Javanologi.
Catra, Ida I Dewa
Gde, ”Prosesi Pembuatan Daun Lontar”, Denpasar: Jurusan
Sastra
Daerah FS Universitas Udayana .
Medera, I Nengah,
dkk. (2005). Pedoman Pasang Aksara Bali. Jumantara Vol.
3
No.1 Tahun 2012 166 Denpasar: Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali.
Agastia, IBG. 1985.
Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali.
Yogyakarta:
Javanologi.
Catra, Ida I Dewa
Gde. 1997. Prosesi Pembuatan Daun Lontar.
Amlapura:
Rumah
Pintar Ida I Dewa Gde Catra.